99 hari menuju 2022.
Setelah membaca rentetan kata di atas, barangkali ada yang mulai berniat mengecek kalender, atau membuat rencana ke depan di tanggal-tanggal tertentu. Pun, ada yang mungkin merenung tentang betapa singkat ternyata waktu itu bergulir.
Lalu, kalau usai sudah memperhatikan kumpulan tanggal, menetapkan tujuan, dan berpikir mendalam, setelahnya apa?
Mungkin, menebak-nebak apa kejadian yang nanti timbul di kemudian hari. Atau, bersikap biasa saja, dengan melontarkan selarik semboyan klise, "Hidup ini dijalani saja."
Kemudian, bagaimana dengan yang merenung?
Di antara membiarkan alur dunia berputar, juga memperhitungkan apa yang akan dilakukan nanti, ia dilanda bingung, tapi tetap berusaha tegak berdiri.
Menghadap ke depan, tapi sesekali menatap ke belakang. Ingin ragu akan masa depan, tapi menyadari bahwa keraguan yang dahulu pernah ada, pada akhirnya usai dan ia sudah sampai di masa depan yang dimaksud kala itu.
Kelak, ia akan mengalami hal ini kembali, berulang--jika waktu masih berpihak padanya.
Lalu, ia berpikir.
Di tahun depan, ia akan bertemu dengan 99 hari menuju 2023, dan seterusnya. Jika usianya hanya sampai di tahun tertentu, orang lain tetap akan berada di fase 99 hari menuju akhir tahun sekian dan sekian. Apa yang pernah ia renungkan, akan dipikirkan orang lain, pun generasi selanjutnya tanpa keberadaannya. Tanpa ia pinta mereka untuk ikut merenung pula.
Nyatanya mau bagaimanapun, tetap saja, kumpulan hari di setiap tahun selalu dipenuhi oleh campuran emosi, baik suka, duka dan hampa, yang dirasakan oleh orang lain di masa lalu, masa kini dan masa depan.
Ia menyadari bahwa, kita semua, pada akhirnya memang se-sama itu. Se-setara itu.
Lalu, pertanyaan timbul di kepalanya, bagaimana dengan intensitas tiap emosi tersebut?
Di bumi yang sama, dengan pikiran yang tak mungkin tak pernah ada yang merenungkan masa depan, kita menjalani hidup.
Di Eropa, seseorang sedang makan di cafe seorang diri sembari menatap jendela. Di Asia Tenggara, seseorang sedang makan di warung seorang diri sembari menjatuhkan pandangan pada makanan di hadapannya.
Kita semua sama, hanya mungkin situasi saja yang berbeda.
Di Amerika, seorang artis terkenal mengupload kegiatannya sehari-hari, dikomentari berbagai macam orang dari berbagai negara, dengan total likes dan comment hingga puluhan juta. Di Indonesia, seorang artis terkenal mengupload kegiatannya saat di Amerika, dikomentari berbagai macam orang dari berbagai daerah, dengan total likes dan comment hingga belasan juta.
Kita semua sama, hanya mungkin lingkup dan nominal saja yang berbeda.
Rupa-rupanya, ada banyak hal yang pada intinya sama saja jika kita mau memandang lebih jeli, membandingkan secara detail, menyerapnya perlahan.
Kesombongan sirna, karena tidak ada yang perlu ditinggikan, lantaran intinya kita semua sama. Ketakutan pudar, karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan, lantaran intinya kita semua pernah.
Pada 99 hari setelahnya, tetaplah bergerak karena mau bagaimanapun hasilnya, dengan orang lain di luar sana, bisa jadi kita hanya berbeda lingkup dan nominal saja.
Pada 99 hari sesudahnya, tetaplah melangkah karena mau bagaimanapun hasilnya, dengan siapapun di belahan bumi mana, barangkali kita hanya berbeda situasi saja.
Mempelajari pengalaman diri sendiri sebelumnya, pembelajaran dari orang lain yang pernah didengar atau dilihat, semoga sudah lebih dari cukup sebagai bekal di kumpulan hari setelah 99 hari tersebut. Tentunya, dengan menetapkan Allah sebagai satu-satunya harapan untuk terus meminta kemudahan kelak.
Ia, yang dimaksud di sini, barangkali yang kini sedang membaca rangkaian kata ini.
Tulisan ini, siapa lagi yang perlu diingatkan terlebih dahulu selain diri sendiri?
Jum'at, 24 September 2021
-darisdamaay
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku Introver
RandomCatatan panjang. Ketika berjalan, duduk di angkutan umum, membeli sesuatu di berbagai tempat, di mana pun itu, pernahkah terpikir tentang beberapa hal lalu berakhir pada membahasnya sendirian? Jika pernah, maka karena itulah work ini ada. Daripada h...