Apakah Cinta Itu Sederhana?

122 12 10
                                    

Cukup banyak untaian kata yang memberi pemahaman bahwa, cinta terbentuk dengan sederhana.

Namun, beberapa fakta di lapangan justru menyuguhkan sebaliknya. Ketika hendak memasang pasak bertema 'mencintai sesuatu', konsepnya malah tidaklah sesederhana itu.

Penjelasannya mungkin seperti, cinta adalah uraian perdamaian diri atas penerimaan akan objek dari cinta itu sendiri, sesuai porsi yang pas atau tepat.

Dan, ketepatan itu, pengaplikasiannya jelas tidaklah se-simple yang dibayangkan. Ada banyak perjuangan di sana agar bisa menyeimbangkan kedua sisi.

Terkait pada objek, mencintai bukanlah selalu tentang manusia.

Cinta pada barang kesayangan, misal.

Binatang peliharaan,

barang yang dibeli dari hasil tabungan,

suasana favorit (awan biru di langit, salah satunya),

bahkan cinta kepada Pencipta pun, ketika memutuskan untuk mencintai, mesti memiliki rasa penerimaan tinggi akan kemungkinan yang kelak terjadi,

yang tentunya berkaitan pula dengan perubahan sudut pandang pemikiran, serta isi hati pelaku yang telah bersedia mendedikasikan diri untuk mencintai suatu objek tersebut.

Cinta pada binatang peliharaan? Menerima bahwa selain mampu memperbaiki mood, juga pasrah suatu saat nanti ia bisa mati.

Cinta pada barang hasil tabungan? Menerimanya sebagai pemicu rasa berharga pada diri, dan mau tak mau rela akan kemungkinan hilang atau lapuk dimakan usia kelak.

Suasana favorit? Menerima keindahannya, tapi tak lupa pula pada pergantian cuaca di waktu yang timbul setelahnya.

Bagaimana dengan cinta kepada Pencipta?

Menerima betapa Ia Maha Kuasa dan Pengasih terutama Pemaaf, juga berusaha menerima bahwa ada banyak aturan dan hal-hal yang Pencipta larang, yang selain terkadang perlu effort besar untuk dilakukan, juga alasan di baliknya tak jarang sulit dipahami oleh pikiran awam manusia.

Lalu, mungkin ada pertanyaan, jika terkesan rumit, mengapa masih mengambil resiko?

Jawabannya, karena, cinta.

Tidak ada penjelasan lebih jauh selain itu.

Jika sudah memutuskan, apapun baik kelebihan maupun kekurangan, kemudahan dan kerumitan, saat menghadapi persoalan yang berkaitan dengan objek yang dicintai, tidak lagi menjadi masalah.

Tidak mudah curiga, tidak mudah tersinggung.

Sekali lagi, karena, sudah cinta.

Jadi, tidak sederhananya di mana?

Saat meletakkan kepercayaan dan memberikannya pada objek yang dicintai--dalam hal ini, manusia.

Tidak semua orang bisa berpikiran matang ketika diberi kebebasan untuk melakukan suatu hal, terlebih sudah ada tanda hijau bahwa, apa-apa yang menjadi kepribadian dasarnya, diterima.

Hal seperti ini bisa dimanfaatkan oleh objek tersebut. Alih-alih semakin menguarkan efek positif dan mengembangkan hal baik yang ada pada diri, justru ia malah menampakkan sisi kelam, terlebih memancarkan spektrum merah kepada subjek yang bersedia secara sukarela mencintainya.

Mungkin, maksud dari sederhana di sini adalah, ketika sudah memutuskan untuk jatuh dan bangun karena cinta, kita akan lebih mudah mengekspresikan rasanya, entah pakai love language mana saja.

Membiarkan pandangan, pikiran, ucapan dan perasaan kita teralihkan, terkontaminasi, terakomodir, terpengaruhi oleh kehadirannya.

Memasrahkan diri kita untuk terdistorsi olehnya.

Terlepas dari berbagai hal buruk yang mungkin akan terjadi—semoga saja tidak—, entah yang muncul dari dirinya maupun pihak eksternal nanti, semua itu bukanlah masalah.

Karena, sederhana saja: sudah cinta.

Panggil Aku IntroverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang