---
Melihat judul di atas, sepertinya jelas dapat diterka bahwa tulisan kali ini akan terkesan berat.Mungkin sulit dipahami, dan membuat siapapun ingin sesegera mungkin beranjak dari lapak ini.
Yang penting, aku sudah menginformasikan dari awal bahwa, jika tidak ingin waktu kalian terbuang sia-sia, disarankan untuk tidak membuka tulisan ini, apalagi membacanya.
Jadi ...
Apakah masih berminat untuk membaca?
Yakin tidak akan ada penyesalan?
Jika iya, terimakasih atas apresiasi kalian kepadaku.
Baik, karena kalian telah berada sejauh ini, kuharap fokus kalian tertuju penuh untuk mencerna setiap kata yang tertuang di dalamnya. Memahami dengan baik apa yang akan kupaparkan tentang beberapa hal yang mengusik pikiranku. Berusaha mencermati makna yang terkandung di setiap kalimat yang tertera.
Kali ini kita akan berpikir kritis.
Berpikir layaknya seseorang yang berpendidikan.
Mau kalian masih SMP, SMA, sedang menjalani bangku perkuliahan, baru saja tamat dari sarjana atau pascasarjana, dan bahkan telah bekerja dan berumah tangga sekalipun, intinya, kalian pernah mengenyam bangku sekolah.
Dan itu berarti kalian termasuk salah satu orang yang berpendidikan.
Aku tidak mau berdebat mengenai siapa yang jenius, cerdas, pintar, rata-rata, dibawah rata-rata, atau yang idiot sekalipun.
Di sini, aku hanya ingin menjelaskan tentang bagaimana sistem pendidikan yang sedang berjalan di negara yang kini kita tempati.
Yang selama ini kita rengkuh.
Yang selama ini kita pahami dan kita rasakan.
Di kepalaku, bercabang beberapa hal yang amat sangat menganggu ketenangan pola pikirku. Maksudku, semacam memaksa untuk meledakkannya ke khalayak agar mereka mengerti.
Banyak.
Banyak sekali.
Terkhusus, tentang pendidikan dan mereka yang mengikuti les tambahan di luar sekolah.
Begini.
Aku tidak mengerti bagaimana sistem Indonesia berjalan. Kita berangkat sekolah dari setengah tujuh pagi, dan katakanlah kita tiba di sana tepat pukul tujuh. Setelah itu kita belajar sampai bel istirahat berbunyi, makan dan minum, atau apalah kegiatan yang biasa dilakukan ketika istirahat, kemudian masuk, lalu melanjutkan kegiatan sekolah kembali sampai pukul dua siang, misalnya.
Terus begitu sampai seminggu, kecuali jum'at karena hanya setengah hari, dan minggu karena libur.
Jujur saja, bagiku, itu adalah siklus paling membosankan yang pernah kurasakan seumur hidup.
Dan yang lebih membosankannya lagi adalah, orang tua kita menyuruh—lebih tepatnya memaksa untuk mengikuti les tambahan, dengan dalih agar lebih mahir dalam bidang yang perlu untuk diperdalam.
Agar lebih mahir?
Lebih stress baru iya.
Aku tidak habis pikir, mengapa kita mati-matian belajar di sekolah dari pagi sampai siang—bahkan ada yang sampai sore—, tapi ujungnya belajar lagi di luar.
Aku tidak menyalahkan orangtua, karena mungkin mereka berharap lebih agar kelak kita bisa menjadi anak yang super-jenius. Maka dari itu, dengan sukarela mereka mencurahkan uang dari jerih payah keringat, mati-matian banting tulang, dan akhirnya ditukarkan dengan les tambahan, dengan harapan dapat memberikan ilmu tambahan pada kita.
Yap, tentu mereka benar-benar harus kita apresiasi dan beri terimakasih.
Sangat bahkan.
Tetapi, yang disayangkan,
kenapa harus dengan cara seperti itu?
Jadi apa gunanya guru di sekolah formal?
Apakah fungsi mereka hanya untuk memberikan penggambaran bahwa, "Ini loh lingkungan sekolah yang patut diketahui para anak-anak di Indonesia. Ini loh cara belajar yang dilakukan oleh sekolah formal. Ini loh bla bla bla..."
Apakah hanya itu?
Mengapa kita harus melibatkan les tambahan?
Apakah sekolah formal tidak cukup bagus, sampai mereka butuh bantuan bimbingan belajar, tempat les, atau kursus agar dapat mencerdaskan anak bangsa?
Mengapa semua itu harus dilakukan?
Jujur, sampai saat ini aku sama sekali tidak mengerti.
Aku sering melihat, bahkan terkadang diriku sendiri masih kesulitan untuk menulis dan mengungkapkan percakapan bahasa Inggris walaupun hanya kalimat yang sederhana.
Padahal kita sudah mempelajari itu dari bangku SD sampai SMA. Jika dihitung dari kelas 4 SD, berarti lebih kurang kita telah mempelajari bahasa Inggris di sekolah formal kira-kira hingga sembilan tahun.
Cukup lama, bukan? Belum lagi bagi yang telah menginjak bangku kuliah dan di dalamnya terdapat pelajaran tersebut.
Itu baru bahasa Inggris.
Bagaimana dengan pelajaran Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama Islam, dan bahkan bahasa Indonesia masih ada saja yang remedial?
Mengapa itu bisa terjadi?
Jadi sebenarnya, apa fungsinya kita sekolah formal selama ini?
Toh ujungnya kita butuh bantuan les tambahan untuk lebih menekankan kecerdasan kita mengenai suatu bidang.
Toh ujungnya, kita harus diberi asupan yang lebih menohok lagi agar dapat memahami setiap mata pelajaran.
Mengapa tidak dibuat saja sistem bimbel tersebut menjadi sistem di sekolah formal?
Aih.
Sudahlah.
Udah...
Jangan terlalu serius ketika membaca ini.
Aku hanya ingin menyampaikan pemikiran yang kerap terngiang ketika menginjak bangku SMP saja.
Sebenarnya masih banyak, tapi rasanya untuk part sekarang, aku cukup mencetuskan pemikiran aneh ini terlebih dahulu.
Kemungkinan ke depannya akan ada beberapa hal yang akan aku kritisi kembali.
Dan kuharap, siapapun merespon setiap pemikiranku yang bak sampah, apapun itu.
Baik, terimakasih.
---
Ini hanya sudut pandang standar.
Hakikatnya, saya juga sangat mengapresiasi sistem pendidikan di Indonesia, yang telah dan kini sedang saya jalani.Ditambah, pemikiran ini muncul di masa-masa labil saya, saat sekolah menengah pertama. Saya hanya menyalinnya dari buku catatan saja. Jadi, saya harap, jangan terlalu dibawa serius, ya.
---
See you next time.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggil Aku Introver
AlteleCatatan panjang. Ketika berjalan, duduk di angkutan umum, membeli sesuatu di berbagai tempat, di mana pun itu, pernahkah terpikir tentang beberapa hal lalu berakhir pada membahasnya sendirian? Jika pernah, maka karena itulah work ini ada. Daripada h...