03

448 38 0
                                    

10.03 WIB
Minggu, 23 Mei 20XX

"Yo, El!" sapa riang laki-laki yang sedang berdiri tepat di depan Elisa. Laki-laki itu tersenyum manis pada Elisa yang terus menatapnya horor.

"Apa maksudmu wangi rambutku berbeda?!" Elisa berujar pelan dan penuh penekanan. Alisnya menekuk dalam. "Lalu, bagaimana kau tahu wangi rambutku?!"

Laki-laki itu mengerutkan dahinya heran melihat respon Elisa yang menurutnya amat berlebihan. "Hey, kau kenapa?" Laki-laki itu balik bertanya.

"Jawab saja pertanyaanku!" Elisa berseru dengan napas memburu.

Laki-laki itu menelan ludahnya kasar. Sedikit ngeri melihat tatapan Elisa yang tampak menajam. "Ah, i-itu-"

"Kau tak tahu?" potong seorang laki-laki yang tadi memang berdiri di belakang laki-laki yang kini tengah diintrogasi Elisa.

"Tahu apa?" Elisa beralih menatap laki-laki itu. Suaranya terdengar dingin. Tatapannya tampak tajam.

"Raka itu memiliki penciuman yang sangat tajam. Dan sebenarnya, dia itu meny-"

Mata Raka langsung melotot mendengar kalimat yang akan diucapkan Vin. "Bukan apa-apa!" Dia segera menutup mulut Vin yang hendak bersuara, lantas membawa sahabatnya itu untuk menjauh dari Elisa yang masih menatap tajam keduanya.

Begitu dua laki-laki itu menjauh, Elisa langsung jatuh terduduk di atas bebatuan di tepi sungai. Kepalanya tertunduk dengan getaran halus yang menyelimuti tubuh.

"El, kau baik-baik saja?" Suara lembut dari seorang Nafita--teman sekelas Elisa--pada Elisa yang tampak ketakutan. Dia baru saja tiba di pinggir sungai, dan langsung melihat penampakan Elisa yang tampak ketakutan.

Elisa mendongak, wajah khawatir Nafita dan wajah datar Advis menjadi pemandangan pertama yang ditangkap oleh retinanya.

Elisa terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Aku ... baik-baik saja." Elisa segera bangkit. Gadis berkulit pucat itu berjalan mendekati sungai. "Nana, ayo kita pulang!" ajaknya pada Nana yang sedang berenang di sungai.

"Sebentar lagi, Kakak!" teriak Nana yang terus mengayunkan kedua tangannya, berusaha melawan arus untuk berenang ke hulu sungai.

"Nana, kalau Kakak bilang pulang, ya, pulang!" Suara Elisa meninggi, membuat nyali Nana kembali menciut.

Gadis kecil itu langsung menghentikan kegiatannya, dan berjalan ke arah Elisa dengan wajah takut-takut.

Tangan Elisa sigap mengeringkan tubuh Nana, membungkus tubuh itu, lalu dengan gesit membereskan baju kotor dan perlengkapan mandi Nana. Begitu selesai, Elisa langsung menggendong Nana, membopong adiknya untuk pulang ke rumah mereka.

Nafita dan Advis yang hendak menyebrang ke Bukit Kabut yang terletak tepat di sebrang Sungai Aerga, menatap aneh tingkah Elisa. Begitu penampakan Elisa menghilang, dua orang itu beralih menatap Raka dan Vin yang tengah berdebat di hilir sungai.

"Ayo, Fi," ajak Advis yang sudah lebih dulu menyebrang sungai. Nafita menyusul kemudian, mengikuti langkah besar Advis.

"Menurutmu, kenapa Elisa bersikap aneh begitu?" tanya Nafita pada Advis yang masih saja berwajah datar.

"Kanapa kau sangat ingin tahu urusan orang?" Advis balik bertanya dengan tampang malas.

"Hey, aku kan hanya bertanya!" Nafita berseru sebal. "Jika tak ingin menjawab, ya sudah," lanjutnya dengan wajah cemberut.

Advis menghentikan langkahnya. "Kau dengar apa yang membuat Elisa kesal tadi?" Laki-laki berwajah datar itu berbalik, menatap serius Nafita.

"Wangi rambut?" Nafita berujar ragu. Advis mengangguk, membenarkan. "Bisa kau tebak, kenapa gadis itu jadi sangat sensitif dengan orang yang membahas tentang wangi rambutnya?"

Nafita terdiam sejenak mendengar pertanyaan Advis, kemudian menjawab, "Kemungkinan karena dia ada trauma dengan hal itu?" Lagi, Nafita mencoba menebak.

Advis menganggukkan kembali kepalanya. "Dan makhluk yang amat menyukai wangi rambut seorang gadis, itu hanya 'mereka'. Aku curiga, jika gadis itu tengah diincar oleh 'mereka'."

Mata Nafita seketika langsung membulat. Dia menutup mulutnya yang terbuka. "Sulit dipercaya! Bagaimana bisa gadis itu ...." Ucapan Nafita terhenti. Kepalanya menggeleng dengan tatapan tak percaya di matanya.

"Itu mungkin saja, Fi. Apalagi dia ... cantik." Suara Advis memelan di akhir kalimat. Laki-laki itu menggeleng singkat begitu bayang-bayang Elisa terlintas tanpa permisi di kepalanya. Dia langsung berbalik hendak melanjutkan langkah, meninggalkan seorang Nafita Ayara yang kini terdiam di tempat.

____°___

10.03 WIB
Minggu, 23 Mei 20XX

Gia dan Bayu yang hendak pergi ke rumah Irma, harus menghentikan langkah begitu sebuah mobil menghadang jalan mereka.

Seorang laki-laki berambut hitam kelam turun dari mobil, menghampiri Gia dan Bayu. "Lama tak berjumpa, kawan lama!" sapa laki-laki itu dengan mata menyipit, karena senyumnya yang kelewat lebar.

"Rai?" Mata Bayu membulat, menatap tak percaya penampakan pemuda seusia dirinya itu. "Kapan kau sampai kemari?"

"Apa urusanmu datang ke sini, sialan?!" Berbeda dengan Bayu yang tampak antusias dengan kedatangan Rai, Gia justru terlihat tak menyukainya. Dia menatap penuh permusuhan pada Rai.

Rai beralih menatap Gia yang terus melayangkan tatapan tajam padanya. "Ah! Sepertinya kau tak menyukai kedatanganku, ya, 'mantan tuan putri'." Rai menyeringai kecil.

Mendengar itu, Gia menggeram kesal. Tangannya mengepal kuat. Jika tak buru-buru ditahan oleh Bayu, sebuah pukulan sudah melesat mengenai Rai.

Bayu menatap Gia dengan tatapan memohonnya, agar gadis itu tidak terpancing oleh omongan Rai.

"Jika kau kemari hanya untuk mencari masalah, lebih baik kau pergi dari sini, Rai. Karena mereka tak akan membiarkanmu lolos begitu saja." Bayu kembali menoleh pada Rai. Dia berujar tenang.

Kedua alis Rai terangkat. "Oh, benarkah?" Dia memasang wajah terkejut yang amat dramatis. "Sayang sekali, karena sebentar lagi ... aku akan tinggal dan bersekolah di desa ini," ujar Rai dengan penekanan di tiga kata terakhirnya.

Mata Gia kembali melotot. "Apa maksudmu?!" Gia berteriak marah, hendak menyerang Rai kembali dan lagi-lagi ditahan oleh Bayu.

"Nona, tolong tenangkan diri anda," pinta Bayu berusaha setenang mungkin. Karena tak bisa dipungkiri, jika laki-laki berkulit eksotis itu juga terkejut dengan kalimat yang baru saja dipaparkan oleh Rai.

Setelah merasa Gia cukup tenang, Bayu kembali beralih pada Rai. "Apa maksudmu, Rais? Bukankah kalian sudah berjanji tak akan kembali?"

Seringai kecil kembali muncul di bibir Rai. "Kau lupa? Kami bisa kembali, jika-"

"Tunggu dulu!" Gia lagi-lagi berteriak, kali ini bukan dengan sebuah amarah yang menguasai, melainkan keterkejutan. "Jangan bilang-"

"Syukurlah jika kau tahu, 'mantan tuan putri'." Seringai Rai semakin melebar.

"Siapa?" Gia bertanya dengan sorot mata yang tampak rumit. Nada suaranya rendah dan dingin.

"Kau akan tahu sendiri nantinya," jawab Rai singkat, sebelum akhirnya kembali naik ke mobil.

Begitu penampakan Rai lenyap, Gia dan Bayu kompak terdiam. Semilir angin yang berhembus cukup kencang dan riak sungai kecil yang berada tepat di samping jalan, mendominasi keheningan yang tercipta diantara Gia dan Bayu.

Pohon kapuk yang berbaris di sisi kanan kiri jalan, sesekali menjatuhkan daun-daunnya. Petak sawah dengan tanaman padi yang mendominasi, terbentang luas, mengapit jalan utama di Desa Rembulan yang hanya selebar dua meter.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Gia bergumam dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya masih mengepal.

Bayu tersenyum tipis, mencoba menghibur Gia. "Sebaiknya kita tak perlu terlibat, Nona. Dan kalau pun situasi yang mengharuskan kita untuk terlibat, saya berjanji akan melindungi Nona dengan segenap nyawa saya."

Gia menoleh sekilas. Dia tersenyum tipis mendengar kalimat Bayu. Pada akhirnya, ramalan itu benar-benar akan terjadi.

Namun, daripada mengulang masa kelam yang sempat terlupakan, Gia lebih tertarik untuk ... melenyapkan alasan Rai datang kemari.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang