10

363 44 2
                                    

12.38 WIB
Selasa, 25 Mei 20XX

Elisa merasakan tenggorokannya tercekat, tak dapat mengeluarkan suara, barang sedikitpun. Kedua kakinya, pun mulai mati rasa, tak dapat Elisa gerakan untuk setidaknya melarikan diri dari makhluk itu. Dia hanya bisa mematung melihat makhluk berpakaian serba hitam yang kini mulai mendekat ke arahnya.

"Sesungguhnya, aku ingin menjadikanmu sebagai penutup. Tapi, korban ke empat, pun rasanya tak masalah." Makhluk itu berucap dengan langkahnya yang kian mendekat ke arah Elisa.

Wajah Elisa kian pias, keringat dingin sudah bercucuran di dahinya. Pergerakan dada gadis itu juga terlihat semakin cepat.

Hingga, saat makhluk itu hampir mencapai dirinya, sesuatu yang ganjil kembali terjadi. Wajah si makhluk berpakaian hitam yang tadinya bergerak mendekat, seketika langsung mundur. Sebelah tangan makhluk itu, pun sudah menutup hidungnya. Dan, dapat Elisa lihat, kedua mata makhluk tersebut menunjukkan tatapan tak percaya pada Elisa yang kini tengah kebingungan.

Elisa semakin dibuat bingung, saat makhluk itu tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Masih belum dapat memproses semua kejadian yang terjadi, Elisa yang sebelumnya diselimuti ketakutan, kini sudah terduduk lemas. Tubuhnya tampak gemetar.

"A-apa yang terjadi?" gumam Elisa seraya memperhatikan tubuhnya. Tak ada yang aneh dari tubuhnya itu, bau ganjil juga tak tercium dari sana. Elisa sangat yakin semuanya normal seperti biasa.

Namun, kenapa makhluk berpakaian hitam tadi justru tampak ketakutan begitu mendekati dirinya? Apa yang makhluk itu rasakan? Apa yang dia cium dari tubuhnya?

Brak!

Suara pintu kamar yang dibuka secara kasar, membuat Elisa sedikit tersentak. Dia yang semula menunjukkan raut takut, langsung menghembuskan napas lega begitu wajah familiar yang muncul dari sana.

"Elisa!" seru Nafita yang berjalan lebih dulu. "Kau tak apa?" Wajahnya tampak khawatir. Dia mulai memeriksa seluruh tubuh Elisa.

Gia dan Bayu yang tadi muncul bersama Nafita, pun tampak cemas melihat keadaan Elisa.

"Aku baik-baik saja." Elisa berujar pelan. "Daripada itu ...." Elisa menjeda kalimatnya. Tatapan menyelidik muncul di mata besar Elisa. "Siapa kalian sebenarnya?"

Nafita, Gia, dan Bayu seketika langsung bungkam. Ketiganya saling melempar pandangan mendengar ucapan Elisa barusan.

"A-apa maksudmu, El?" Nafita berujar gagap. "Tentu saja kan, kami ini ... teman sekelasmu." Suara Nafita terdengar memelan di bagian akhir.

Elisa tak langsung menyahuti, dia masih terdiam, mengamati ketiga teman sekelasnya itu. "Apa kalian ... siluman penjaga Desa Rembulan?"

Kali ini, ketiga orang itu langsung menegang. Semuanya kembali saling melempar pandangan. Alarm tanda bahaya, sudah muncul di kepala masing-masing.

"Imajinasimu terlalu berlebihan, Elisa!" Gia akhirnya menyahuti. Alisnya sedikit menekuk. Nada bicaranya terdengar kesal.

"Kalau begitu, bagaimana kalian bisa tahu?" balas Elisa masih dengan kecurigaan yang tidak sedikitpun berkurang.

"Semua yang tadi berada di kelas juga tahu. Kau juga mendengar sendiri saat Lusi bercerita tadi." Gia menjelaskan dengan wajah yang mulai menunjukkan binar kekesalan.

Elisa kembali terdiam. Tatapannya masih tak berubah. Beberapa detik kemudian, gadis itu akhirnya bangkit berdiri. Dia berjalan keluar kamar.

Gia, Nafita, dan juga Bayu, ketiganya lagi-lagi saling bertatap sebelum akhirnya mengikuti langkah Elisa yang sudah berada di luar kamar.

"Duduklah dulu. Aku akan menyiapkan teh," ujar Elisa tanpa menoleh ke belakang. Dia melanjutkan langkahnya menuju dapur, hendak menyiapkan jamuan untuk teman-temannya yang kini tengah berkunjung ke rumahnya.

_____°_____

12.50 WIB
Selasa, 25 Mei 20XX

"Syukurlah kita bisa menyelamatkan Elisa tepat waktu." Nafita yang berjalan di barisan paling depan, berseru dengan nada lega. Senyum bangga tampak jelas di wajahnya.

Kepala Gia tertunduk. Dahinya sedikit berkerut. "Menurutmu ... apa kita benar-benar 'menyelamatkan' Elisa?" Gia berujar pelan.

Bayu yang berjalan di samping Gia, saat itu juga langsung menoleh. Dia menatap bingung nona-nya itu.

Nafita pun sama, dia langsung menengok ke belakang. "Huh? Apa maksudmu?" tanya Nafita yang juga menampakkan wajah bingung.

Kepala Gia terangkat. Dia menatap bergantian antara Bayu dan Nafita yang kini tengah memandangi dirinya. Beberapa detik terdiam, Gia akhirnya berkata, "Entahlah. Aku merasa seperti ada yang kita lewatkan."

Mendengar itu, Nafita sontak langsung terkekeh. "Astaga, kupikir ada apa. Sudahlah, itu hanya perasaanmu saja!"

"Tapi ...." Bayu yang sedari tadi hanya diam menyimak, kini mulai angkat suara.

Gia dan Nafita, sontak langsung menoleh pada pemuda itu.

"Ada apa?" Gia melontarkan pertanyaan. Wajahnya tampak penasaran menunggu kalimat yang akan Bayu ucapkan.

Tak langsung menjawab, Bayu justru menunjukkan raut rumit seraya menatap bergantian Gia dan Nafita. "Sepertinya, Elisa bukan manusia biasa."

Ucapan barusan membuat Gia dan Nafita langsung melempar pandangan satu sama lain. Keduanya tampak terkejut dengan ungkapan yang dibuat Bayu.

"Kita masih baik-baik saja meski gadis itu sudah mengetahui identitas kita." Bayu menambahkan penjelasannya. Kepalanya sedikit menunduk. Dahinya tampak berkerut. Nada bicaranya pun terdengar amat serius.

Kedua bola mata Gia langsung membulat, seolah baru menyadari sesuatu. "Oh, astaga! Aku melupakan itu!"

Dahi Nafita ikut berkerut. "Tapi, bukankah itu hanya kecurigaan semata? Lagi pula, Gia sempat membantah dugaan yang Elisa buat tadi."

Gia menggeleng singkat. "Tidak. Meski tak membalas bantahan dariku, tapi, orang seperti Elisa pasti tak akan langsung mempercayai itu. Dia akan lebih memilih untuk tetap pada pemikirannya, yang itu artinya, sama saja seperti dia sudah mengetahui identitas kita."

"Dan, kita tetap baik-baik saja meski Elisa sudah mengetahui identitas kita. Dengan itu, bukankah artinya ... Elisa bukan manusia biasa?" Bayu melanjutkan penjelasan Gia.

Kini, Nafita langsung terdiam. Wajahnya mulai tampak serius. "Jika dugaanmu benar, itu artinya ... Elisa tak memenuhi syarat untuk menjadi tumbal." Dia menjeda ucapannya. "Lalu, apa arti kedatangan makhluk itu tadi?"

Bayu dan Gia kini saling melempar tatapan. Kerutan halus muncul di dahi keduanya. Tak tahu harus menjawab apa, Gia dan Bayu kompak menundukkan kepala, mencari alasan logis tentang apa yang tengah terjadi.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang