21

177 20 5
                                    

19.45 WIB
Kamis, 27 Mei 20XX

Suara ketukan di meja terdengar beraturan oleh jari-jari lentik Elisa. Kerutan halus tampak memenuhi dahi gadis itu. Kepalanya sedikit dimiringkan dengan sebelah tangan yang menopang dagu.

"Sekarang tinggal Kenya nih, yang belum datang. Padahal dia yang paling semangat untuk acara persiapan ini."

"Iya, ya, kira-kira apa yang membuat orang seperti Kenya bisa setelat ini?"

Percakapan antara Irma dan Nafita tadi sore kini amat mengusik pikiran Elisa. Karena, seperti yang dikatakan dua temannya itu, Kenya adalah seorang yang amat menyukai acara yang melibatkan banyak orang. Saking sukanya, Kenya bahkan sering mengadakan acaranya sendiri. Dan tidak hadirnya Kenya ke acara persiapan tadi sore, tentu membuat Elisa jadi memikirkan yang tidak-tidak.

Tatapannya tertuju pada kertas berisi catatan yang dibuat Advis, lalu berpindah pada catatan yang pernah dia buat sebelumnya. Wajah Elisa tampak amat serius membaca dua catatan yang berada di sana. Dugaan-dugaan kecil mulai muncul di kepala Elisa.

"Kenya Sahaya," gumam Elisa yang kini mulai membayangkan visual Kenya. Rambut coklat bergelombang, wajah lonjong dengan bibir berisi, mata besar disertai hidung mancung, dan tubuh yang tinggi semampai. Kerutan di dahi Elisa semakin menjadi. "Sepertinya itu sudah cukup untuk disebut ... menawan?" Dia berucap tak yakin.

Cukup lama terdiam, Elisa akhirnya menyambar ponsel miliknya yang tergeletak di pojok meja belajar. Dia mencari sebuah nomor di daftar kontak, lantas menekan tulisan panggil yang tertera di sana.

Beberapa detik menunggu, akhirnya panggilan diterima. Elisa mendekatkan layar ponselnya ke telinga. "Halo, Gia?" sapa Elisa memastikan jika yang berada di seberang sana benar orang yang dituju.

"Ya, El? Ada apa?" Suara Gia terdengar menyahuti panggilan dari Elisa.

"Sebelumnya maaf jika menganggu waktumu. Aku hanya ingin memastikan, tadi saat kau pergi ke lapangan, apa ibumu ada di rumah?"

Gia yang mendengar pertanyaan Elisa, kini mulai tampak heran. "Tidak, ibuku pergi ke desa sebelah sejak tadi pagi."

"Lalu, apa ayah Kenya sudah pulang?" Elisa kembali memberikan pertanyaan yang membuat Gia kian heran.

"Setahuku, sih, masih belum." Gia menggelengkan kepalanya meski Elisa yang diajak bicara tak melihat gerakan itu.

Elisa terdiam, merasa semakin yakin dengan dugaannya. "Kalau begitu, bisa aku minta tolong?"

Dahi Gia kini mulai menampakkan kerutan dengan berbagai macam praduga yang memenuhi benaknya. "Tolong apa?"

"Tolong kau pastikan keadaan Kenya. Sepertinya dia menjadi target selanjutnya."

Gia sontak saja melotot mendengar ucapan Elisa barusan. Dia memang sempat menduga jika hal buruk sudah terjadi, tapi Gia tak menyakan jika ini yang menjadi hal buruk tersebut. "Apa maksudmu?! Kau bercanda, kan? Bagaimana bisa-"

"Aku akan menjelaskan detailnya besok saat di sekolah. Untuk sekarang, tolong pastikan dulu keadaan Kenya. Kalau bisa, sekalian saja kau temani dia malam ini." Elisa memotong ucapan Gia.

"Tidak, kau harus-"

"Sampai jumpa besok, Gia!" Elisa buru-buru mematikan panggilan telepon sebelum Gia mencecarnya dengan berbagai macam pertanyaan.

Elisa menghela napas panjang. Dia bangkit dari duduknya, lantas menuju kasur dan merebahkan diri ke atas sana. Mata Elisa terpejam begitu merasakan permukaan lembut kasur miliknya. Dia yang semula sudah bersiap untuk tidur, tiba-tiba kembali membuka mata begitu teringat kejadian aneh lainnya.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang