16

254 28 0
                                    

12.12 WIB
Rabu, 26 Mei 20XX

Suara ketukan sepatu terdengar bersahutan di dalam sebuah ruangan dengan lantai semen dan susunan papan kayu yang menjadi dindingnya. Sebuah meja panjang tampak mendominasi ruangan itu, dengan dua puluh satu kursi yang mengisi sisi meja.

Gia dan Bayu yang tadi berjalan di belakang seorang wanita paruh baya, kini mulai mengisi dua kursi kosong yang berada di sisi kanan-kiri meja, setelah wanita yang tadi mereka ikuti mengambil posisi di kursi pemimpin--kursi yang berada di ujung meja.

Tatapan wanita tadi tampak menyapu seisi ruangan, menatap satu-persatu wajah-wajah yang berada di dalam sana. "Sebelumnya, kuucapkan terima kasih untuk kalian semua yang sudah menghadiri pertemuan mendadak ini!" seru Daerya--ibu dari Giara, sekaligus ketua ras siluman kucing hitam--dengan pembawaannya yang tampak anggun dan tegas di waktu yang bersamaan.

"Seperti yang sudah kita semua ketahui, akhir-akhir ini, siluman gagak mulai meneror Desa Rembulan--desa yang harus kita jaga kedamaiannya." Daerya menjeda kalimatnya, tatapan wanita itu mulai berubah tajam. "Dan menurut informasi yang baru aku dapatkan, keturunan terakhir sang raja ... rupanya masih hidup."

Suara gaduh sontak saja langsung memenuhi ruangan sesaat setelah Daerya menyelesaikan bicaranya. Wajah-wajah tegang satu dua mulai muncul.

"Jika benar demikian, apakah ramalan itu benar-benar akan terjadi?" ucap seorang wanita tua dengan rambut yang hampir sepenuhnya ditumbuhi uban. Wajah keriput wanita itu masih tampak tenang, meski nada bicaranya terdengar seperti menunjukkan kekhawatiran.

"Jika ramalan itu terjadi, bukankah itu artinya akan ada siluman kelelawar yang mencari-"

"Itu sudah terjadi." Gia memotong ucapan laki-laki usia awal dua puluhan yang duduk di samping Bayu. "Siluman kelelawar itu sudah tiba di desa kita."

Semua pasang mata langsung membelalak terkejut mendengar ucapan Gia. Kegaduhan kembali muncul.

Tahta yang mengusik cinta akan menimbulkan banyak duka
Namun, tahta yang merebut jiwa sang darah akan membuat penderitaan menjadi nyata

Daerya membacakan bait ramalan dari buku tua yang dia pegang. Tatapannya tampak tenang melihat para pengikutnya yang kini kembali terdiam. "Aku tidak bisa memastikan apakah ramalan tersebut benar-benar dapat dihentikan atau tidak. Tapi, tak ada salahnya untuk mencoba. Untuk itu, aku ingin kita semua berusaha untuk mencegahnya." Daerya berucap tegas dengan wajah yang tampak meyakinkan. "Dan untuk rencananya ...."

_____°_____

16.30 WIB
Rabu, 26 Mei 20XX

Senyum Gia mengembang melihat pemandangan indah dari sawah yang berada di kanan-kiri jalan. Apalagi dengan alunan merdu dari lagu yang dinyanyikan ibunya, membuat suasana hati Gia kian bahagia dibuatnya.

Gia menoleh sekilas pada ibunya. Meski sudah mulai menunjukkan kerutan permanen di beberapa titik, tapi di mata Gia, ibunya itu masih tampak amat mempesona. Rambut hitam panjang yang serupa milik Gia, bentuk wajah yang oval, hidung mancung, bibir berisi, dan mata besar yang menjadi bagian terfavorit Gia.

Walau Gia tak membenci matanya yang mirip dengan ayahnya, tapi Gia sedikit menyayangkan karena tak mewarisi mata milik ibunya. Itu benar-benar mata yang indah.

Gia menghela napas pelan, lantas kembali menoleh pada pemandangan indah yang tengah menemani perjalanannya menuju rumah. Pemandangan indah sang sawah yang tak sedikitpun membuat Gia bosan untuk menatapnya.

"Ibu dengar, ayahnya Kenya sedang melakukan perjalanan bisnis ke kota untuk beberapa hari. Jadi, nanti malam kau temani dia, ya!" Daerya menatap hangat putri semata wayangnya yang kini tengah dia rangkul.

Gia kembali menoleh begitu mendengar perintah dari ibunya. Dahi gadis itu tampak mengerut dengan tatapan tak suka di matanya. "Kenapa pula aku harus melakukan itu? Kenapa tidak ibu saja? Kenya lebih menyukai ibu daripada aku."

Daerya tertawa pelan. "Siapa bilang? Kenya juga menyukaimu, kok. Lagi pula, tidak mungkin kan, ibu membiarkan putri cantik ibu ini sendirian?" Dia berucap dengan sebelah tangannya yang mencubit gemas pipi Gia.

Gia mencoba menarik pipinya. "Bu!" rengek gadis itu, kesal karena sang ibu yang memperlakukan dirinya bak anak kecil. "Aku sudah besar!"

Daerya kembali tertawa. Tangannya yang tengah merangkul Gia, kini mulai mengusap puncak kepala gadis itu. "Iya, iya, putri ibu sudah besar. Jadi, temani Kenya, ya?" Dia kembali berusaha membujuk Gia.

Gia berdecak pelan. Dia mulai melipat kedua tangannya di depan dada. "Rumahnya tepat di depan rumah kita. Jika kesepian, dia bisa langsung menyebrangi jalan untuk pergi ke rumah kita," sahut gadis itu masih berusaha untuk menolak permintaan ibunya.

"Oh, ayolah. Kau tahu Kenya tak akan melakukan itu, Sayang."

Melihat sang ibu yang terus bersikeras, tatapan Gia sontak langsung berubah curiga. Dia mulai melepas rangkulan ibunya. Pikiran gadis itu kini sudah mengelana jauh ke belakang, mengingat semua perlakuan ibunya pada anak tetangga mereka, Kenya.

Mulai dari ibunya yang kelewat ramah pada Kenya, ibunya yang selalu membagi masakan pada Kenya dan ayah Kenya, hingga ibunya yang kini ingin dirinya menemani Kenya. Semua perlakuan itu terlihat terlalu berlebihan bagi Gia, seakan ada yang tengah ibunya itu rencanakan.

Wajah Gia kini mulai terlihat serius. "Bu, ingat, ya! Aku tidak mau punya ayah tiri!" Gadis itu berucap tegas.

Kedua alis Daerya sontak langsung terangkat, sedikit terkejut dengan ucapan Gia barusan. "Gia, sepertinya kau salah paham. Ibu melakukan ini bukan karena-"

"Aku tidak peduli, Bu. Yang jelas, aku tidak mau punya ayah tiri!" Gia langsung melanjutkan langkahnya, meninggalkan sang ibu yang masih terdiam di tempat.

Daerya menghela napas berat melihat punggung Gia yang kian menjauh. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Dasar anak-anak!" gumam wanita itu seraya mendengkus geli.

"Hey, tunggu ibu, Gia!" Daerya mulai menyusul langkah Gia. Dia sedikit berlari untuk mengejar Gia yang tengah berjalan cepat.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang