13.25 WIB
Senin, 24 Mei 20XX"Dahulu kala, dikisahkan ada tiga kaum siluman yang menguasai daerah di kaki Bukit Kabut. Daerah-daerah itu bernama Desa Rembulan, Desa Beringin, dan Desa Sungai Merah." Elisa yang tengah memangku Nana, menatap dengan seksama buku yang dia pegang.
"Desa Rembulan? Itu kan nama desa kita," celetuk Nana dengan suara imut. Kepala gadis kecil itu sedikit mendongak untuk melihat kakaknya.
Elisa ikut menoleh. Dia mengangguk singkat. "Iya, sepertinya buku ini mengisahkan tentang desa kita, Na," jelas Elisa.
Mata bulat Nana langsung melebar. "Wuah, berarti di desa kita ada siluman!" seru Nana dengan wajah penuh semangat.
Kali ini Elisa menggeleng. "Tidak juga. Bisa saja hanya legenda, Na. Berarti kejadiannya belum tentu terjadi, dan kemungkinan hanya cerita semata."
Nana mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk paham. "Oo, begitu. Ya sudah, lanjut, Kak!"
Tatapan Elisa kembali tertuju pada buku di genggamannya. "Dari ketiga kaum siluman itu, ada dua yang berseteru karena perebutan status sebagai kaum terkuat, yaitu siluman gagak dan siluman kelelawar. Sebenarnya hanya siluman gagak yang memusuhi siluman kelelawar, karena siluman kelelawar sendiri tak peduli dengan status sebagai siluman terkuat yang mereka pegang."
"Berseteru itu berkelahi, ya, Kak?" Nana kembali bertanya. Kepalanya lagi-lagi mendongak.
Elisa mengangguk singkat tanpa menoleh pada adiknya itu. Matanya masih fokus melihat isi buku. "Hingga pada suatu hari, Dewi penjaga Bukit Kabut diutus untuk kembali ke langit. Namun, karena tak ingin membiarkan Bukit Kabut ditinggalkan tanpa penjagaan, akhirnya sang Dewi pun meminta salah satu kaum siluman untuk menjaga Bukit Kabut, dengan imbalan akan memberikan kekuatan pada siapapun yang mau menggantikan Dewi."
"Nama Dewi-nya siapa, Kak?" Lagi, Nana kembali mendongakkan kepalanya.
Kali ini Elisa terdiam dengan pertanyaan tak terduga dari Nana. Kemudian menggeleng, karena memang tak disebutkan siapa nama Dewi penjaga Bukit Kabut tersebut. "Entahlah, Na. Kakak tidak tahu."
Nana menekuk dahinya. Dia menatap sebal pada Elisa. "Kenapa kakak tidak tahu?" protes Nana dengan wajah cemberut.
Dahi Elisa berkerut halus mendengar protesan dari Nana. "Yah, mana kakak tahu, Na. Bukan Kakak yang membuat cerita ini."
Nana mencebikkan bibir, sebelum akhirnya berucap, "Ya sudah, lanjut, Kak!"
Elisa menghela napas panjang, kemudian kembali memfokuskan diri pada buku bacaannya."Siluman gagak yang sangat berambisi untuk menjadi siluman terkuat, mengajukan diri dan mengancam siluman lainnya untuk tidak ikut mengajukan diri menjadi penjaga Bukit Kabut. Dua siluman lainnya yang memang tak tertarik dengan kekuasaan, tanpa perlu dipaksa pun tak akan mengajukan diri.
"Akhirnya, siluman gagak terpilih untuk menjadi penjaga Bukit Kabut, menggantikan sang Dewi, dan menerima kekuatan dari sang Dewi. Setelah menerima kekuatan, siluman gagak pun akhirnya menjadi siluman terkuat."
"Wah, keren!" Nana memekik kegirangan. Dia bertepuk tangan penuh semangat.
Elisa yang melihat tingkah Nana hanya menggeleng singkat. Padahal, dari deskripsi yang tertera, siluman gagak bukanlah makhluk yang baik untuk menjadi siluman terkuat. Mengingat ambisinya yang amat besar, pastilah sifat angkuhnya tak akan kalah besar. Namun, tentu saja, Nana yang masih berusia lima tahun, pasti tak akan berpikir sampai sejauh itu.
"Lanjut, Kak! Lanjut!" seru Nana dengan wajah girangnya.
Elisa kembali menatap buku di genggamannya, kemudian membalik kertas kecoklatan buku itu. Kerutan halus nampak di dahi Elisa begitu kertas berhasil dibalik oleh tangan pucatnya.
"Ayo, lanjut, Kak!" desak Nana tak sabaran.
Elisa menoleh sekilas pada Nana. "Kertasnya kosong," ujar Elisa dengan tangan yang terus membalik lembaran kertas di buku itu. Namun, tak ada lagi tulisan setelah dua lembar kertas yang telah Elisa baca tadi. Kosong, benar-benar kosong.
"Kenapa kosong?!" seru Nana dengan nada kesal. Wajahnya kembali cemberut. Tangan kecil Nana mengambil buku itu, kemudian membawanya pada Blaze--kucing peliharaan Nana--yang sudah menemukan buku itu.
"Blaze!" seru Nana seraya mengambil gulungan wol yang tengah dimainkan Blaze. "Kenapa kertasnya kosong?" tuntut Nana seraya menyodorkan halaman kosong pada Blaze yang menatap polos dirinya.
Tak mengerti ucapan Nana, kucing hitam itu memilih untuk merebahkan diri. Tidur. Pipi Nana mengembung, kesal karena Blaze yang sudah mengabaikan dirinya. "Blaze!" Nana mengguncang tubuh Blaze, membuat kucing malang itu menatap ngeri Nana.
"Jawab, Blaze! Jawab!" teriak Nana di depan wajah Blaze yang sedari tadi sudah mengeong meminta pertolongan.
Elisa yang melihat itu seketika langsung tertawa. Kepalanya menggeleng, melihat tingkah laku Nana. "Astaga, kau pikir Blaze akan mengerti bahasamu? Tidak akan, Na!" ejek Elisa masih dengan sisa tawa di wajahnya.
Elisa menghampiri Nana, kemudian membantu melepaskan Blaze yang terus diguncang oleh Nana. Begitu terlepas, Blaze langsung berlari kencang tanpa tahu arah.
"Sudahlah, besok akan Kakak pinjamkan buku cerita di perpustakaan sekolah. Nanti kita baca sama-sama, ya?" hibur Elisa pada Nana yang berwajah murung.
Mendengar tuturan Elisa, wajah Nana seketika langsung berseri. "Janji?" Nana menyodorkan jari kelingkingnya.
Senyum Elisa mengembang. "Janji!" Elisa menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Nana.
"Saaayang kakak~" Nana langsung melompat, berhamburan dalam pelukan Elisa. Elisa menerima pelukan itu dengan senang hati.
_____°_____
16.32 WIB
Senin, 24 Mei 20XXDi dalam kamar dengan ukuran 3×3 meter, Elisa tampak terlelap di atas ranjangnya. Kipas angin yang menempel di dinding kayu, menjadi satu-satunya sumber suara yang berada di dalam sana.
Kelopak mata Elisa tampak mengerjap begitu munculnya dering beruntun dari ponsel yang berada di atas nakas. Tak langsung meraih ponselnya, Elisa diam sejenak. Kepala gadis itu menoleh ke arah jendela yang terbuka. Matahari tampak sudah condong ke arah barat. Langit biru, pun mulai menampakkan rona jingga.
Elisa menghela napas panjang sebelum bangkit dari tidurnya. Tangan pucat gadis itu meraih ponsel hitam yang kini sudah menunjukkan adanya panggilan telepon.
"Irma?" gumam Elisa dengan dahi berkerut. Jarinya mulai menggeser icon hijau untuk menerima panggilan dari sahabatnya itu. "Halo, Ir?"
"Hai, El!" sapa Irma dari sebrang sana. Suaranya terdengar ceria--seperti biasa.
"Ada apa?" Elisa mengucek matanya yang masih belum terlalu fokus melihat sekitar.
"Kenya mengadakan acara bakar-bakar di Bukit Kabut. Kau belum membuka grup, kan? Aku tahu, kau pasti baru bangun tidur!" tebak Irma yang membuat Elisa terkekeh pelan.
"Lalu?"
"Tentu saja kau harus ikut!"
"Ini sudah sore, Ir. Ibuku-"
"Jangan banyak alasan! Aku sudah izin pada bibi Arisa, dan beliau sudah mengizinkan. Jadi, cepat siap-siap, aku menunggumu di Bukit Kabut!"
Elisa menghela napas panjang begitu panggilan dari Irma dimatikan. Dengan gerakan lemah, dia bangkit dari tempat tidurnya.
Langkah Elisa bergerak pelan menuju jendela. Dia diam sejenak memandangi pepohonan tinggi yang berada di samping rumahnya.
Cukup lama memandangi pepohonan itu, tangan pucat Elisa akhirnya terangkat. Suara berderit terdengar begitu sepasang jendela kayu tersebut ditarik oleh Elisa.
Setelah menutup jendela, Elisa berpindah pada saklar lampu, lalu langsung bersiap untuk pergi ke Bukit Kabut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Rembulan
Misterio / Suspenso(Misteri - Fantasi - Psikologi) Bagi Elisa, ketenangan adalah yang utama. Selama tak mengganggu ketenangannya, Elisa tak akan mau peduli. Namun, sebuah kejadian aneh muncul di Desa Rembulan, desa tempat dimana Elisa dilahirkan dan dibesarkan. Dimul...