28

184 20 0
                                    

21.25 WIB
Jum'at, 28 Mei 20XX

Begitu melihat penampakan rumah panggung dengan pagar kayu yang mengelilingi, langkah Elisa langsung bertambah cepat. Senyum cerah seketika terukir di wajah cantiknya. Gadis itu membuka pintu pagar dengan gerakan tergesa, lantas berlari kecil menuju rumah, hendak menemui kakek-neneknya yang amat dia rindukan.

"Kakek, nenek!" teriak Elisa di sela kegiatan larinya. Dia bahkan tak menghiraukan keberadaan sang ayah yang tengah duduk di teras seraya menyesap secangkir kopi panas.

"Wah, cucunya nenek sudah datang!" seru seorang wanita tua dengan rambut yang sudah didominasi warna putih. Rudiah nama wanita tua itu, neneknya Elisa dan Nana, sekaligus ibu kandungnya Arisa.

"Nenek!" Elisa ikut berseru. Dia berlari kecil ke arah sang nenek, lantas memeluknya erat. "Elisa rindu Nenek!"

Rudiah tertawa kecil dengan tangan yang ikut menyambut sang cucu ke dalam pelukannya. "Nenek juga rindu sama cucu kesayangan Nenek ini," ucap wanita tua itu.

Cukup lama mendekap tubuh kecil Elisa, Rudiah melepas pelukannya, kemudian mengusap puncak kepala cucunya itu. "Cucu Nenek sekarang semakin tinggi, ya!" pujinya dengan kepala yang sedikit mendongak, menatap wajah Elisa yang lebih tinggi darinya.

Senyum Elisa kian lebar mendengar ucapan neneknya. Namun, senyum itu mulai memudar begitu menyadari sesuatu. "Oh, ya, Nek, kakek dimana?" tanya Elisa dengan mata yang mulai menjelajahi isi rumah, mencoba menemukan sang kakek yang kehadirannya masih belum terlihat.

"Kakek sedang ke warung. Sebentar lagi juga pulang," jelas Rudiah. "Elisa sudah makan?"

Tatapan Elisa kembali tertuju pada neneknya. Senyum lebar kembali terlukis di wajah cantiknya. "Ya, tadi Elisa makan banyak kue saat di acara desa. Semua jenis kue. Enak-enak loh, Nek!" Elisa menjawab dengan nada penuh semangat.

Rudiah lagi-lagi tertawa mendengar jawaban Elisa. "Makan nasi sudah?" Dia kembali bertanya.

Elisa menggeleng singkat. "Belum. Elisa hanya mengunjungi meja kue tadi."

"Ya sudah, kalau begitu makan nasi dulu, ya? Nenek suapi pakai ikan goreng, mau?" tawar Rudiah yang membuat kedua mata Elisa langsung berbinar.

"Mauu!" Elisa menjawab cepat.

"Nenek goreng ikannya dulu, Elisa panggil ayah dan ibu, kita makan malam sama-sama," titah Rudiah sebelum akhirnya melenggang pergi menuju dapur.

Elisa ikut pergi menuju teras depan, hendak memanggil ayah dan ibunya yang masih berada di sana. Namun, saat hampir tiba di teras, langkah Elisa tiba-tiba berhenti.

"Raka anaknya kepala desa?" Suara Elrik terdengar dari arah teras.

Tahu apa yang akan dibicarakan kedua orang tuanya, Elisa yang penasaran akhirnya memilih untuk bersembunyi di balik dinding papan yang menjadi pembatas antara teras dan ruang tengah.

"Ya, anak itu!" Arisa menyahut cepat. "Ayah tidak lupa kan, siapa orang tua Raka yang sebenarnya?"

Helaan napas berat keluar dari bibir Elrik. Wajah pria paruh baya itu mulai tampak serius. "Seharusnya tidak masalah jika mereka hanya berteman," gumam Elrik yang untungnya masih bisa didengar oleh Elisa.

Arisa sontak langsung melotot. "Tidak masalah Ayah bilang?!" Suara Arisa mulai meninggi. Raut wajahnya nampak emosi. "Ayah lupa bagaimana gilanya ayah anak itu? Ibu hampir mati karena orang gila itu. Ibu tidak akan membiarkan Elisa dekat-dekat dengan anak itu!"

Dahi Elisa mulai berkerut mendengar ucapan ibunya barusan. "Ayah anak itu? Hampir mati? Orang gila?" Elisa mengulangi beberapa kata yang menurutnya cukup mengganjal.

"Ibu, tenang dulu. Bukan begitu maksud-"

"Siluman!" potong Arisa yang membuat tubuh Elisa langsung menegang. "Ayah pasti tahu, kan? Jika seorang anak dari siluman akan dilahirkan sebagai seorang siluman. Bahkan meski salah satu dari orang tuanya hanya manusia biasa."

"Kau tahu? Raka itu memiliki penciuman yang sangat tajam."

Degub jantung Elisa kini rasanya sudah menggila. Deru napasnya ikut bertambah. Ingatan mengenai ucapan Vin saat di sungai, serta fakta mengenai orang tua Raka yang merupakan seorang siluman membuat kecurigaan Elisa kian membesar.

"Bagaimana jika kejadian itu kembali terulang pada Elisa? Apa Ayah akan diam saja melihat Elisa disakiti oleh siluman terkutuk itu?!" Suara Arisa kembali terdengar emosi.

"Tapi, mereka kan hanya berteman. Belum tentu Raka juga menyukai Elisa seperti ayahnya yang dulu menyukai Ibu," sahut Elrik yang masih mencoba untuk tetap bersikap tenang.

"Bagaimana jika Raka juga menyukai Elisa?"

"Bagaimana jika sebenarnya ada orang lain yang juga ingin mengajakmu?"

Mendengar ucapan ibunya barusan, membuat ingatan mengenai kejadian tadi sore langsung terlintas di kepala Elisa. Mata gadis itu sontak terpejam erat. Kedua tangannya terkepal kuat. "Dasar bodoh!" umpat Elisa dengan suara pelan, merutuki tindakan gilanya kala itu. Tindakan gila dimana dia secara terang-terangan mempermalukan seorang Raka--salah satu tersangka yang kini memiliki persentase paling tinggi.

Tak cukup dengan fakta jika Raka merupakan seorang siluman, kini Elisa juga harus dihantam fakta jika ayahnya Raka pernah menyukai ibunya. Bukan hanya itu, ayah Raka bahkan sempat membahayakan nyawa ibunya.

Elisa mendengkus kesal. Entah kejadian aneh apalagi yang akan menghampirinya, tapi yang jelas itu tidak akan menjadi hal yang baik. Pada akhirnya, ketenangan yang Elisa harapkan hanya akan menjadi mimpi semata. "Menyebalkan!" gumam gadis itu dengan wajah cemberut, sebelum akhirnya muncul di teras dengan sebuah senyum yang mengembang.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang