01

1K 61 4
                                    

21.29 WIB
Sabtu, 22 Mei 20XX

Malam itu, hujan deras tengah menyelimuti Desa Rembulan. Awan hitam sempurna menutupi cahaya bulan. Suara petir, pun terdengar saling bersahutan.

Ditengah suasana gelap nan dingin, Elisa si gadis berkulit pucat menggulung diri dalam selimut tebal. Matanya terpejam, mengabaikan ributnya badai di luar rumah.

Tok! Tok!

Suara pintu yang diketuk membuat kelopak mata Elisa langsung terbuka. Kepalanya menoleh, melihat gadis kecil yang baru saja membuka pintu kamarnya.

"Kakak," panggil gadis kecil itu, memastikan jika kakaknya masih belum tertidur.

Elisa langsung mendudukkan diri. Bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum kecil. "Nana? Ada apa?" Suara Elisa mengalun lembut.

Setelah mengetahui kakaknya masih belum tidur, senyum Nana langsung mengembang. Dia menutup pintu kamar, lantas berjalan mendekat ke arah ranjang yang ditiduri kakaknya. "Nana tidur dengan kakak, ya?" Gadis kecil itu menampakkan tatapan memohon pada sang kakak. Suaranya terdengar memelas.

Senyum Elisa semakin lebar. Tangannya terangkat, mengusap puncak kepala Nana. Elisa tahu, pastilah adik kecilnya itu takut untuk tidur sendirian. Mengingat hebatnya badai di luar, tentu itu akan memunculkan imajinasi liar dalam pikiran Nana yang baru berusia lima tahun. "Sini, naiklah." Elisa menepuk kasur di sebelahnya, mempersilahkan Nana untuk ikut istirahat bersama.

Dengan wajah penuh semangat, Nana langsung mengambil posisi di samping kakaknya. Lalu, menyibak selimut yang dikenakan Elisa, untuk ikut masuk ke dalam sana.

"Kakak tahu?" Nana berujar dengan suara pelan.

Elisa yang semula hendak memejamkan mata, kini langsung menoleh pada Nana. Dia menatap adiknya itu dengan dahi berkerut dan kepala yang menggeleng singkat.

Nana mengedarkan pandangannya sebelum bergerak mendekat ke arah Elisa. "Tadi ada orang hitam masuk ke rumah kita," bisik Nana dengan mata yang masih tampak was-was melihat sekitar.

Kerutan di dahi Elisa semakin menjadi. "Orang hitam?"

Nana mengangguk antusias. "Iya, orang itu tinggi dan berwarna hitam," jelas Nana dengan nada yakin. Wajah imutnya tampak sangat serius. Namun, justru membuat gadis kecil itu terlihat semakin menggemaskan.

Elisa diam sejenak mencerna cerita dari adiknya, lalu membuat kemungkinan-kemungkinan yang logis kenapa sang adik dapat mengalami hal itu. Hingga cukup lama terdiam, senyum Elisa kembali terbit. "Mungkin itu ayah yang baru pulang dari luar, Na," jelasnya dengan nada lembut.

"Tapi, dia hitam-hitam!" Nana berseru tak terima. Wajahnya mulai ditekuk.

"Dimana Nana melihatnya?"

"Di depan pintu!" sahut gadis itu cepat. Tangannya menunjuk arah pintu rumah mereka.

Senyum Elisa semakin lebar. Tepat seperti dugaan. "Warnanya hitam, itu karena dia membelakangi cahaya, Na," jelas Elisa, mencoba memberi pengertian pada Nana.

Nana yang tak mengerti mulai menatap bingung Elisa. Nana yakin orang yang dilihatnya serba hitam, tapi kenapa kakaknya tak percaya dan justru mengatakan jika itu ayah mereka?

Paham akan kebingungan Nana, Elisa langsung mendekap adik kecilnya itu. "Tak apa, kan ada kakak. Sekarang Nana tidur, ya?" Tangan Elisa mulai mengusap lembut punggung kecil Nana.

Nana yang tak tahu harus berkata apa, akhirnya mengangguk pasrah. Gadis kecil itu mulai memejamkan mata, mencoba untuk terlelap dalam kehangatan yang diciptakan kakak perempuannya.

Elisa pun sama, ikut memejamkan mata. Meski tak bisa dipungkiri, jika pertanyaan Nana barusan membuat perasaannya mulai gelisah.

Hingga Elisa yang hampir ikut terlelap, harus dikejutkan oleh sebuah suara langkah kaki. Meski kelopak matanya masih terpejam, tapi kesadaran Elisa sudah terjaga sepenuhnya.

Di dalam kamar dengan pencahayaan yang temaram, langkah kaki itu terus mendekat. Suaranya terdengar amat halus di telinga Elisa. Jika sedikit saja ada kebisingan, mungkin suara itu tak akan terdengar.

Setelah tiba di samping ranjang yang ditiduri Elisa dan Nana, langkah itu akhirnya berhenti.

Suara helaan napas terdengar samar di telinga Elisa.

"Ternyata di sini, ibu sudah khawatir terjadi sesuatu padamu, Na." Itu suara Arisa--ibu Nana dan Elisa--yang baru saja tiba di bibir pintu kamar Elisa. Tak berniat masuk, Arisa menutup pintu kamar putri sulungnya yang tadi memang sudah terbuka. Kemudian berlalu, kembali ke kamarnya.

Begitu pintu tertutup, muncul siluet orang bertubuh jangkung berdiri di pinggir ranjang Elisa. Siluet orang itu mulai membungkuk, mendekati rambut Elisa yang tidur dengan posisi membelakangi dirinya. Meski samar, Elisa masih bisa mendengar suara seseorang yang sedang menarik napas dalam, atau mungkin ... menghirup aroma?

Seketika, bulu kuduk Elisa langsung meremang. Tubuhnya mulai menegang. Pikirannya sudah liar membayangkan sesuatu yang kini menghembuskan napas tepat di belakang telinganya.

"Ah, wangimu selalu saja memabukkan."

Deg!

Degub jantung Elisa langsung terpacu. Udara yang semula dingin, rasanya jadi semakin membeku. Entah suara siapa itu, yang jelas ... itu suara seorang laki-laki.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang