26

145 17 0
                                    

20.02 WIB
Jum'at, 28 Mei 20XX

"Elisa!" panggil Irma yang kini tengah berjalan cepat menghampiri Elisa. Di belakangnya ada Nafita dan Gia yang tampak mengikuti.

Kepala Elisa sontak menoleh. Dia tersenyum lebar melihat kedatangan teman-temannya itu. "Hai!" sapa Elisa dengan sebelah tangan yang terangkat, melambai pada ketiga temannya yang tengah menuju ke arahnya.

"El, kenapa kau tidak pernah cerita padaku?!" Irma menatap tajam Elisa begitu sudah berdiri di depan sahabatnya itu. Dia berkacak pinggang, dengan wajah yang tampak garang.

Tatapan bingung Elisa muncul kala mendengar pertanyaan Irma. Kalimat tanya dari sahabatnya itu terlalu ambigu bagi Elisa. "Cerita apa?" Dia menatap tanya Irma. Kepalanya mulai miring ke samping.

"Tentu saja pemuda tampan yang tadi menari bersamamu, El!" Bukan Irma yang bersuara, melainkan Nafita. Dia terlihat amat penasaran dengan sosok yang tadi menari dengan Elisa. Seringai nakal bahkan sudah muncul di bibir gadis itu, berniat menggoda Elisa yang diam-diam sudah memiliki pasangan dari desa lain.

Tahu kemana pembicaraan mereka akan mengarah, Elisa langsung terdiam, mulai mencari topik lain untuk mengalihkan pembicaraan. "Loh, Kenya dimana? Kalian tak bersamanya?" tanya Elisa setelah ingat mengenai pertemuannya dengan Raka tadi.

"Ah, iya! Tadinya kami juga ingin menanyakan itu padamu. Tapi sepertinya kau juga tak tahu, ya," sahut Irma yang wajahnya sudah mulai berubah khawatir.

Nafita langsung menoleh pada Irma. "Apa mungkin Kenya sedang sakit? Saat di kelas tadi perilaku Kenya juga terlihat aneh, kan?" ujar gadis itu dengan raut yang turut berubah khawatir.

Irma mengangguk singkat. "Bisa jadi!" jawab Irma sambil merampas gelas berisi air perasan jeruk yang berada di tangan Elisa. Dia meminumnya hingga tandas, membuat Elisa langsung memasang muka sebal.

Tak sedikitpun berniat peduli dengan respon Elisa, Irma justru mulai mengambil posisi duduk di samping sahabatnya itu. Setelah melakukan tarian muda-mudi yang cukup menguras tenaga, Irma jadi sangat haus dan lelah. Syukurlah Elisa yang mereka hampiri membawa minuman segar bersamanya, Irma jadi tak perlu susah-susah mengantre untuk mengambil air minum.

Gia yang juga merasa lelah, ikut mengambil posisi di sebrang Elisa. Disusul Nafita yang duduk di sebrang Irma. Mereka berempat kini duduk di sebuah meja persegi dengan empat kursi di sisinya. Sebuah lilin dengan wadah kayu diletakkan di tengah-tengah meja dimana tatakan anyam bulat yang menjadi alasnya. Selain itu, piring kayu yang dipenuhi berbagai macam kue turut mengisi meja. Itu kue-kue yang Elisa ambil dari meja konsumsi. Semua jenis kue sudah gadis itu pilih sedemikian rupa menyesuaikan dengan seleranya.

"Bagaimana jika besok kita menjenguk Kenya?" usul Nafita setelah cukup lama membiarkan keheningan menyelimuti.

"Boleh-boleh. Kebetulan besok juga kita libur." Irma menjawab dengan nada antusias. Raut khawatirnya pun sudah hilang.

Senyum Nafita langsung mengembang melihat usulannya diterima dengan baik. "Kalau begitu, nanti aku akan mengirim pesan di grup, agar anak-anak yang lain bisa ikut menjenguk Kenya."

"Bagaimana jika kalian menghubungi Kenya terlebih dahulu?" saran Elisa yang membuat Nafita dan Irma langsung menoleh padanya.

"Maunya sih begitu, El. Tapi ponsel Kenya tidak aktif sejak tadi siang." Irma menyahut dengan nada lesu.

Elisa langsung terdiam. Dahinya mulai berkerut halus. "Begitu, ya," gumam Elisa dengan kepala yang mulai menunduk. Semakin yakin jika Kenya benar-benar kecewa padanya.

Namun, yang jadi masalah adalah, Elisa tidak tahu dimana letak kesalahannya. Sungguh, Elisa sangat yakin jika tadi pagi dia tidak menggunakan kata-kata kasar yang dapat menyinggung seseorang. Jadi, kenapa Kenya bisa semarah itu padanya? Ah, atau mungkin Kenya hanya terlalu sensitif? Sepertinya ini alasan yang paling masuk akal.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang