24

183 22 0
                                    

18.12 WIB
Jum'at, 28 Mei 20XX

"Benar nanti Irma akan menjemputmu?" Arisa kembali melayangkan pertanyaan yang sama. Wanita cantik itu tampak cemas dengan keputusan yang diambil oleh putri sulungnya untuk pergi ke lapangan bersama teman-temannya.

"Iya, Bu, aku sudah menghubungi Irma tadi. Nanti juga ada teman-teman yang lain yang akan pergi bersama kami." Elisa kembali menjelaskan. Wajahnya tampak amat meyakinkan.

"Sudahlah, Bu, mereka kan pergi ramai-ramai, pasti mereka akan saling menjaga jika terjadi sesuatu." Elrik ikut meyakinkan sang istri untuk membantu Elisa yang ingin pergi bersama teman-temannya.

Elisa mengangguk setuju dengan penuturan ayahnya. "Iya, Bu. Kita juga kan sudah besar."

Arisa menghela napas berat. Dia menatap tajam Elisa. "Awas ya, kalau Ibu tidak melihatmu di acara nanti!" ancam Arisa sebelum akhirnya melenggang pergi dengan nampan berisi makanan yang dibawanya.

"Kakak hati-hati ya nanti, jangan jauh-jauh dari teman-temannya kakak," pesan Elrik yang dibalas anggukan singkat dan senyum lebar Elisa. Melihat respon putri sulungnya, Elrik akhirnya ikut menyusul pergi.

"Dadah, Kakak!" seru Nana yang berada dalam gendongan ayahnya. Sebelah tangannya melambai pada Elisa. Rambutnya yang dikuncir dua tampak bergoyang-goyang seiring dengan langkah pelan sang ayah.

Elisa mengangkat tangannya, membalas lambaian dari Nana. "Dah, Nana!"

Begitu penampakan keluarganya sudah mulai menjauh, Elisa langsung menghembuskan napas lega. Dia kembali masuk ke dalam rumah dengan wajah sumringah. Tentu saja, karena kebohongannya barusan tak sedikitpun terendus oleh kedua orang tuanya. Ya, Elisa tak pernah berjanji pada teman-temannya untuk pergi bersama. Dia mengatakan kebohongan itu karena ingin datang terlambat.

Bukan hanya karena janjinya pada Nafita, tapi juga karena Elisa tak ingin melakukan tarian muda-mudi, sebuah tari tradisional di tiga desa dimana para remaja lajang akan menari bersama pasangan masing-masing.

Konon katanya, jika sepasang remaja menikmati tarian tersebut hingga iringan musik selesai, mereka akan menjadi pasangan yang bahagia dikemudian hari. Dan Elisa tentu tak akan sudi melakukan hal konyol seperti itu. Menjelajahi internet atau isi buku jauh lebih baik bagi seorang Elisa.

Elisa yang sudah masuk ke dalam kamar, kini menoleh pada satu set pakaian dengan atasan kebaya polos berwarna krem dan kain batik coklat sebagai bawahan yang menggantung di salah satu sisi dinding kamarnya. Seutas kain panjang berwarna putih turut menggantung di sana. Sepasang lukisan unik tampak menghiasi di kedua ujung kain tersebut.

Kain itulah yang menjadi pakaian wajib dalam menghadiri acara-acara di tiga desa di bawah kaki bukit kabut. Dan setiap desa, tentu memiliki warna kain yang berbeda. Jika Desa Rembulan memiliki kain berwarna putih, Desa Sungai Merah memiliki kain berwarna merah, maka Desa Beringin memiliki kain yang berwarna hijau.

Selain itu, penggunaan kain tersebut juga berbeda-beda sesuai dengan siapa yang memakainya. Untuk semua laki-laki, kain akan diikat di pinggang, dengan bagian yang terikat berada di pinggang depan sebelah kanan. Untuk perempuan yang sudah menikah, kain akan disampirkan di bahu layaknya selempang dengan ujung yang dibiarkan menggantung. Untuk perempuan yang belum menikah, kain juga diikat di pinggang, hanya saja posisi yang terikat berada di bagian belakang dan akan diikat membentuk pita.

Elisa yang hanya memiliki waktu empat puluh menit untuk bersiap-siap kini mulai mengganti pakaiannya. Dia turut merias diri. Sebagian rambutnya diikat tinggi-tinggi, digulung membentuk sanggulan, lalu diberi jepitan bermotif bunga melati putih di depan dan belakangnya. Untuk wajah sendiri, Elisa hanya memoles makeup tipis.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang