06.45 WIB
Senin, 24 Mei 20XXMeski kakak perempuannya baru saja meninggal, tapi Irma tetap memaksakan diri untuk bersekolah. Memaksakan diri untuk bersikap tidak apa-apa, walau ada duka mendalam di hatinya.
"Elisa!" panggil Irma begitu melihat penampakan Elisa yang baru saja keluar dari perpustakaan. Senyum Irma langsung mengembang dengan langkah yang semakin cepat untuk menghampiri Elisa.
Elisa yang dipanggil menoleh. Dia ikut tersenyum melihat kedatangan sahabatnya itu. "Kau sudah baikan?" Elisa menatap khawatir Irma. Kedua tangannya memeluk sebuah buku bersampul hijau.
Irma mengangguk pelan. "Ya, lumayan," jawabnya singkat. "Oh ya, bagaimana dengan acara desa yang akan digelar empat hari lagi? Kau sudah memiliki pasangan?" Irma mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Elisa tentu saja paham. Dia menggeleng kecil. "Kurasa aku tak akan datang," jelas Elisa singkat. Dia selalu merasa tak nyaman bila berada di tengah keramaian. Berada di dalam kamar seharian tanpa melakukan apa-apa, rasanya jauh lebih baik daripada harus terlibat dalam acara-acara yang melelahkan itu.
"Astaga!" seru Irma seraya memijat jidatnya. "Sudah sepuluh tahun kau tidak pernah hadir ke acara desa. Apa orang tuamu tak masalah dengan itu, El?"
Elisa tertawa kecil. "Padahal aku yang tak datang, tapi kenapa justru kau yang tampak frustasi, Ir?"
Irma mendengkus pelan. Wajahnya mulai cemberut, kesal pada Elisa yang tak pernah lagi mau datang ke acara-acara desa. Sejak Elisa menginjak usia enam tahun, atau sekitar sepuluh tahun yang lalu, sahabatnya itu memang tak pernah lagi ikut memeriahkan acara desa, membuat Irma jadi merasa kesepian setiap kali datang ke sana.
Orang tua Elisa awalnya khawatir dengan tingkah Elisa yang selalu menghindari pertemuan dengan banyak orang, tapi itu sudah berlalu cukup lama, hingga rasanya sudah biasa jika tak melihat penampakan seorang Elisa di acara desa.
"El, kumohon, di acara kali ini kau harus datang, ya!" Irma menangkupkan kedua tangan di depan dada. Matanya tampak memelas menatap Elisa.
Elisa diam sejenak memikirkan permintaan Irma. Mengingat Irma masih dalam masa berduka, apalagi saat ini sudah tak ada kakaknya, pasti sahabatnya itu akan merasa sangat kesepian di acara desa kali ini.
"El, kumohon~"
Elisa terkekeh pelan. "Baiklah-baiklah, aku akan datang," putus Elisa pada akhirnya.
"Sungguh?!" pekik Irma dengan wajah gembira. "Terima kasih, Elisa!" Irma berseru penuh semangat, lantas memeluk Elisa yang tengah berjalan di sampingnya.
Langkah pelan Elisa dan Irma tampak serentak melewati koridor yang mulai sepi. Keduanya kini tengah menuju ke kelas mereka, kelas sebelas yang terletak diantara kelas sepuluh dan kelas dua belas.
Di Desa Rembulan hanya ada satu sekolah, entah itu untuk jenjang dasar, menengah pertama, maupun menengah atas. Setiap jenjangnya pun hanya memiliki satu kelas. Dan karena hal itu pula, ketiga jenjang pendidikan itu di satukan menjadi Sekolah Rembulan. Dimana setiap waktu istirahat, ketiga murid dari jenjang yang berbeda itu akan bertemu.
"Wah-wah, lihat, siapa yang baru saja datang?" Kenya--si biang gosip di kelas sebelas--menyambut kedatangan Irma dan Elisa. Gadis bertubuh ramping itu berjalan menghampiri Irma dan Elisa yang masih berdiri di bibir pintu. "Kudengar, kakakmu itu meninggal karena dibunuh makhluk jadi-jadian, ya?" tanya Kenya dengan senyum sinis.
Irma yang sedari dulu memang tak menyukai sikap sok tahu Kenya, menatap kesal gadis di depannya itu. Dia ingin membalas ucapan Kenya, tapi genggaman tangan Elisa yang menguat di tangannya, seolah menjadi isyarat agar dia tetap diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Rembulan
Mystery / Thriller(Misteri - Fantasi - Psikologi) Bagi Elisa, ketenangan adalah yang utama. Selama tak mengganggu ketenangannya, Elisa tak akan mau peduli. Namun, sebuah kejadian aneh muncul di Desa Rembulan, desa tempat dimana Elisa dilahirkan dan dibesarkan. Dimul...