19

173 20 0
                                    

14.35 WIB
Kamis, 27 Mei 20XX

Kepala Elisa sedikit menunduk melihat ikan-ikan kecil yang tengah berenang di sungai yang berada di bawah kakinya. Puluhan jumlah mereka, dengan tubuh berwarna abu gelap yang dapat menyamarkan keberadaan. Ikan-ikan itu tampak santai berenang di bawah sana, tak sedikitpun merasa terancam dari Elisa yang notabenenya adalah salah satu dari predator mereka.

Saat ini Elisa tengah duduk di pinggir jembatan kayu yang menghubungkan Desa Rembulan dengan Lapangan Tiga Desa. Lapangan itu berada di antara Desa Rembulan dan Desa Beringin, dan biasanya selalu digunakan untuk mengadakan acara yang melibatkan tiga desa di bawah kaki Bukit Kabut.

Cukup lama terdiam memandangi ikan-ikan di dalam sungai, suara helaan napas mulai terdengar dari bibir Elisa. Gadis itu melirik sekilas ke arah jalan menuju desa, lalu beralih menatap jam yang melingkari tangan pucatnya. Sudah hampir setengah jam dia menunggu Irma, tapi sahabatnya itu tak kunjung datang juga.

Ini mulai membosankan.

Elisa meletakkan kedua tangannya di atas bambu yang menjadi pembatas jembatan, dagunya bertumpu di atas lipatan tangannya itu. Mata besar Elisa kembali tertuju pada ikan-ikan kecil yang kini sudah berenang menjauh setelah menyadari keberadaan dirinya.

Elisa kembali menghela napas. Baiklah, Elisa akan memberi waktu sepuluh menit. Jika lebih dari itu, Elisa berjanji akan meninggalkan Irma dan berjalan lebih dulu ke lapangan. Setidaknya, di lapangan Elisa bisa mencomot banyak kudapan atau mungkin mengambil segelas es jeruk untuk menghilangkan dahaga dan rasa bosan yang kini menyelimuti dirinya.

Namun, tepat sebelum waktu yang Elisa tetapkan habis, Irma akhirnya muncul. Gadis itu datang dengan tampang yang sedikit berantakan. Peluh tampak memenuhi wajah Irma, rambutnya terlihat kusut, napasnya memburu. "Maaf, El, aku terlambat." Irma menatap penuh penyesalan pada Elisa.

Elisa hanya tersenyum kecil. Dia mulai bangkit dari posisi duduknya. "Sebenarnya aku sedikit kesal karena terlalu lama menunggumu, Ir." Elisa menjeda kalimatnya. Dia mendekati Irma, lantas memegang pundaknya. "Tapi tak apa, ayo kita ke lapangan sekarang!" ajak gadis itu seraya memeluk lengan Irma, mengajaknya untuk berjalan bersama.

Irma ikut tersenyum, dia bergerak mengikuti langkah Elisa. "Terima kasih, El," balasnya dengan nada tulus.

"Oh, ya, kau ada urusan apa tadi, Ir? Tidak biasanya kau terlambat." Elisa menatap tanya Irma, penasaran mengenai alasan yang akan sahabatnya itu berikan.

Irma menghela napas panjang, wajahnya mulai kusut. "Ibuku marah besar tadi," ucap Irma dengan nada yang terdengar kesal.

Kedua alis Elisa terangkat, terkejut sekaligus penasaran. "Bagaimana bisa?" Dia kembali melempar pertanyaan.

"Sebenarnya, tadi pagi saat hendak ke kebun, ibuku menyuruh untuk menjemur pakaian dulu sebelum aku berangkat sekolah, dan bodohnya aku lupa menjemur pakaian-pakaian itu.

"Jadi, saat ibuku pulang, dan mengetahui jika pakaiannya masih basah, dia langsung marah habis-habisan," jelas Irma masih dengan wajahnya yang tampak cemberut. "Sial sekali! Kenapa, sih, ibuku tidak seperti bibi Arisa saja," gerutu Irma seraya menendang bebatuan kecil di depannya.

Elisa memiringkan kepala, dia menatap heran Irma. "Memang apa bedanya? Ibuku juga sering mengomel, asal kau tahu."

Irma memutar bola matanya malas. Dia tersenyum sinis menatap Elisa. "Tapi, setidaknya bibi Arisa tak pernah menyuruhmu melakukan pekerjaan rumah, El. Pulang sekolah bisa langsung tidur siang, malam cuma disuruh belajar, bahkan saat libur sekolah kau bisa bangun di siang hari.

"Dan coba kau lihat aku, tiap pagi harus menjemur pakaian, pulang sekolah harus menyapu rumah, sore disuruh mencuci piring, malam membantu melipat pakaian, dan kalau libur sekolah aku juga harus membantu membersihkan halaman rumah. Rasanya sangat melelahkan asal kau tahu, ya!" Irma mengoceh dengan nada menggebu, seakan ingin seluruh dunia tahu jika hidupnya sangatlah menyedihkan.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang