02

488 47 0
                                    

"Ah, wangimu selalu saja memabukkan."

Deg!

Degub jantung Elisa langsung terpacu. Udara yang semula dingin, rasanya jadi semakin membeku. Entah suara siapa barusan, yang jelas ... itu suara seorang laki-laki.

-
-
-

Dengan keberanian yang dipaksakan, Elisa langsung berbalik, hendak melihat si pemilik suara itu. Namun, tak ada siapapun begitu dia berbalik. Kamarnya yang memang tak begitu luas, dalam keremangan tampak sepi.

Masih dengan laju jantung yang terpacu kuat, Elisa secepat kilat menyambar ponselnya, lalu menghidupkan senter yang ada di ponselnya itu.

Dia mengedarkan senter ke seluruh penjuru kamar. Mata gadis itu awas melihat sekeliling kamar. Kamarnya yang tersusun atas papan kayu dan berisi perabotan yang juga berbahan kayu, tampak sepi. Tak ada tanda-tanda orang lain di dalam sana.

"Apa aku ... berhalusinasi?" gumam Elisa dengan suara yang hampir tak terdengar.

Gadis berkulit pucat itu terdiam sejenak. Kemudian menggeleng, menepis pikirannya yang mulai liar kembali. Tangan kecilnya meletakkan ponsel dengan senter yang masih menyala, di atas nakas di samping tempat tidur.

Setelah itu, Elisa kembali memaksakan diri untuk tertidur, dan berusaha untuk mengabaikan apa yang baru saja terjadi.

_____°_____

08.12 WIB
Minggu, 23 Mei 20XX

Hari itu, setelah hujan badai menyerang desa semalaman, berita menggemparkan turut menyertai Desa Rembulan. Hana, kakak perempuan dari teman Elisa, sekaligus tetangga yang tinggal tak jauh dari rumahnya, ditemukan di bukit sebrang sungai dengan keadaan tak bernyawa.

Warga desa sudah berkerumun di rumah Hana, hendak membantu sekaligus melihat langsung kondisi Hana yang kabarnya meninggal dengan darah yang mengering. Banyak warga-warga yang berspekulasi jika itu kematian yang disebabkan oleh makhluk jadi-jadian.

Elisa sendiri, sebagai sahabat dari Irma--adik Hana--membantu menenangkan gadis itu yang kini tengah dalam keadaan berduka. Dalam pelukan Elisa, air mata Irma terus mengalir, membasahi pipi mulusnya.

Nana ikut menemani, karena kedua orang tuanya sibuk membantu dalam mengurus jenazah Hana. Gadis kecil itu duduk di ranjang Irma seraya bermain boneka. Sesekali, mata besarnya akan mencuri pandang pada Elisa dan Irma yang duduk di kursi panjang di dekat jendela.

Hingga sebuah ketukan di pintu membuat Elisa menoleh. "Siapa?" tanya Elisa.

"Ini Bibi. Hana akan segera dikebumikan, bisa kau bantu Irma untuk bersiap-siap?" Itu suara bibi Ami, ibu dari Irma dan Hana.

"Tentu, Bi. Aku akan membantu Irma bersiap-siap," jawab Elisa yang dibalas ucapan terima kasih dari bibi Ami. Meski samar, Elisa masih bisa mendengar nada bergetar dari suara bibi Ami.

"Aku siapkan bajumu dulu, Ir." Elisa mengurai pelukannya.

Irma tak bersuara, gadis itu hanya terdiam dengan tatapan kosong.

Setelah mengambil satu pasang baju untuk Irma, Elisa membantu Irma untuk mengganti bajunya. Kemudian membantu menata rambut Irma agar terlihat rapi.

"Sudah selesai." Elisa berujar pelan dengan sebuah senyum tipis yang dia usung.

Setelah sedari tadi hanya terdiam dengan tatapan kosong, akhirnya Elisa bisa melihat sebuah senyum kecil dari bibir pucat Irma. "Terima kasih, El," ujar Irma dengan suara yang amat pelan, hampir tak terdengar.

____°____

09.56 WIB
Minggu, 23 Mei 20XX

Setelah membantu Irma bersiap-siap, Elisa diminta ibunya untuk memandikan Nana di sungai Aerga. Sungai yang selalu ramai saat pagi dan sore hari.

Seperti kebiasaan warga desa pada umunya, warga Desa Rembulan juga memiliki kebiasaan mandi dan mencuci baju di sungai. Meski sudah memiliki sumur di rumah masing-masing, tapi menurut mereka, melakukan itu di sungai rasanya jauh lebih menyenangkan.

"Buka dulu bajumu, Na!" Elisa menarik tangan Nana yang hendak berlari ke dalam sungai dengan ketinggian air yang hanya setinggi bawah betis Elisa.

"Kakak, mau yang ke dalam!" Nana mengarahkan telunjuknya ke hulu sungai yang memiliki kedalaman setinggi dada Elisa.

"Kau mau tenggelam?" Elisa melayangkan tatapan sinisnya. Selalu saja menyebalkan jika memandikan Nana. Karena gadis kecil itu pasti akan banyak maunya.

"Kakak yang gendong," rengek Nana yang hendak mengeluarkan jurus andalannya, menangis.

Elisa menghela napas pelan. "Kakak sudah mandi, Na."

"Mandi lagi dengan Nana."

"Mandi di sini atau di rumah?" tanya Elisa dengan tatapan tajam. Suaranya terdengar tegas. Itu ancaman.

Nyali Nana menciut melihat tatapan menyeramkan Elisa. Pasrah, akhirnya Nana menurut untuk mandi di sungai yang hanya setinggi bawah betis Elisa.

Selama menunggu adiknya berenang di sungai, pikiran Elisa mulai menjelajah, mengingat kembali kejadian menyeramkan yang terjadi tadi malam.

Meskipun sudah berulang kali dia meyakinkan diri, bahwa semuanya hanya halusinasi, tapi tetap saja kejadian itu benar-benar terasa nyata.

Langkah kaki itu terdengar sangat jelas di telinga Elisa. Hembusan napasnya juga benar-benar terasa. Begitu pula dengan suara berat di belakang telinganya. Tak mungkin jika semua itu hanya halusinasi semata.

Namun, jika itu memang nyata, kenapa dia melakukan itu pada Elisa? Apa maksudnya wangi Elisa selalu memabukkan? Apa dia ... makhluk yang menyukai wangi manusia?

"Hm, wangi rambutmu berbeda," ujar seseorang tepat di belakang telinga Elisa. Suaranya amat pelan, seperti sedang berbisik.

Degub jantung Elisa seketika langsung menggila. Hawa sekitar pun mulai terasa mencengkam. Dengan gerakan cepat, Elisa menoleh pada laki-laki yang baru saja mengucapkan kalimat mengerikan itu

"Kau?!" Elisa menatap terkejut laki-laki jangkung yang kini tengah memasang senyum manisnya untuk Elisa. Laju jantung gadis itu semakin kencang, dengan tatapan tak percaya di iris hitam kelamnya.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang