29

223 24 2
                                    

11.49 WIB
Sabtu, 28 Mei 20XX

Mata besar Elisa sedari tadi tak sedikitpun lepas dari penampakan ibunya yang duduk di depan gadis itu. Wajahnya terlihat amat serius dengan kerutan halus yang muncul di dahinya. Dia masih mencoba merangkai kata-kata untuk mengorek informasi tentang pemuda menyebalkan yang ditemuinya tadi malam. Mengingat pemuda itu sempat mengatakan jika mereka merupakan teman kecil, jadi Elisa cukup yakin jika ibunya akan mengetahui sesuatu. Dan tempat yang dimaksud Rai tadi malam adalah informasi yang amat Elisa butuhkan saat ini.

"Ada apa, hm?" Arisa mendongak, menatap sekilas Elisa. Tangannya tampak telaten memisahkan daun kangkung dengan batang yang sudah tua.

Keduanya kini tengah duduk di gazebo bambu yang berada di belakang rumah sang nenek. Hamparan luas sang sawah menjadi pemandangan utama di gazebo itu. Sebaris sungai kecil menjadi pembatas antara halaman belakang rumah dan bidang sawah. Beberapa pohon kelapa ikut tumbuh di halaman belakang rumah panggung tersebut.

"Ibu tidak ingin bertanya tentang teman menariku tadi malam?" Elisa balik bertanya, berniat memastikan jika ibunya itu memang sudah mengenal Rai.

Dahi Arisa mulai terlihat berkerut. "Maksudmu Raigan? Untuk apa Ibu bertanya, kalian kan memang sudah berteman sejak kecil." Kepala Arisa menggeleng singkat. Raut mukanya seolah berkata jika pertanyaan Elisa sangat tidak berguna.

Elisa terdiam sejenak melihat reaksi yang diberikan ibunya. "Tapi kan, Bu, itu sudah sangat lama. Mungkin sekitar ... sepuluh tahun yang lalu?" Kalimat Elisa terdengar tak yakin di bagian akhir. Wajahnya pun menunjukkan raut ragu atas apa yang sudah dia katakan.

Gerakan tangan Arisa berhenti. Dia kembali melirik Elisa di depannya. "Hei, walaupun Ibumu ini sudah berumur, tapi Ibu belum setua itu, ya, untuk melupakan satu wajah teman kecilmu!" ujarnya sambil menatap tajam Elisa. Nada bicaranya terdengar tersinggung dengan apa yang anak gadisnya tadi ucapkan.

Senyum kecil diam-diam terbit di sudut bibir Elisa. Mata besarnya mulai menunjukkan binar harapan. "Oh, ya? Bagaimana dengan tempat bermain kami waktu kecil dulu, apa Ibu juga masih ingat itu?" tanya Elisa, memancing pengetahuan ibunya mengenai informasi yang dia inginkan.

"Tentu saja Ibu ingat!" Arisa menjawab dengan nada mantap. "Kalau bukan di pinggir danau yang berada di belakang rumah keluarga Raigan, pasti di rumah pohon yang ada di pinggir air terjun. Ibu sangat ingat bagaimana kau dulu merengek pada ayahmu agar dibuatkan rumah pohon." Suara tawa Arisa terdengar pelan. Wajahnya tampak geli membayangkan kenangan di masa lalu yang tak dapat Elisa ingat.

Elisa terdiam sejenak, mencerna kalimat ibunya barusan, sebelum merubah raut mukanya menjadi ekspresi jijik. "Ugh, bisakah Ibu tak membahas bagian itu?" sahut Elisa dengan nada meringis. Badannya bahkan tampak bergidik. "Itu memalukan," gumam gadis itu yang tampak sangat meyakinkan.

Tawa Arisa semakin menjadi. "Hei, itu kenangan yang indah. Kau tidak boleh melupakannya, Sayang." Dia semakin menggoda Elisa yang kini sudah mendengkus sebal.

"Apapun maumu, Bu," ucap Elisa sambil memasang wajah malas. "Oh, iya! Aku ada janji dengan Rai. Aku keluar sebentar, Bu!" pamit gadis itu yang langsung berlalu tanpa berniat menunggu jawaban dari ibunya.

"Hei, jadi kau akan meninggalkan Ibumu ini demi bertemu seorang pemuda, Elisa?!" teriak Arisa pada Elisa yang semakin menjauh dari tempat duduknya.

Elisa sontak langsung berbalik. "Bu, jangan berlebihan!" Wajahnya mulai berubah cemberut mendengar kalimat yang diucapkan ibunya itu.

Arisa yang memang berniat menggoda Elisa, lagi-lagi tertawa setelah melihat wajah menggemaskan putri sulungnya. Mengingat Elisa adalah anak yang sangat kalem dan jarang menunjukkan emosinya, memancing kemarahan Elisa menjadi hiburan tersendiri bagi Arisa. Sementara Elisa yang melihat tawa puas sang ibu, kini hanya bisa mendengkus, sebelum akhirnya melenggang pergi.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang