27

184 20 3
                                    

20.48 WIB
Jum'at, 28 Mei 20XX

"I-itu ... bu-bukan ... Nera, kan?" Irma berucap dengan suara tersengal. Wajahnya tampak pias. Tubuhnya mulai gemetaran.

Elisa menoleh, melihat Irma di sampingnya yang kini tampak amat ketakutan. Merasa tak memungkinkan membiarkan Irma tetap di sana, Elisa langsung mengambil inisiatif untuk membawa temannya itu menjauh. Nafita dan Gia menyusul di belakang.

Begitu sudah tiba di bibir lapangan, Elisa langsung menuntun Irma untuk duduk. Nafita ikut menghempaskan tubuhnya di samping Irma. Kondisi gadis itu tak jauh berbeda dengan Irma. Wajahnya sudah tampak pucat.

Menyadari napas Irma yang masih tersengal, tangan pucat Elisa mulai membuka kancing teratas dari kebaya hijau yang Irma kenakan. Dia menatap khawatir sahabatnya itu. Mengingat kak Hana juga korban dari siluman kelelawar, pasti Irma jadi teringat akan kakaknya. "Aku akan mengambil minum-"

"Jangan!" Irma menahan tangan Elisa yang hendak pergi. Kedua matanya melotot pada Elisa. "Bagaimana jika kau bertemu makhluk itu? Dia pasti masih di sini!"

Elisa mengusung senyum kecilnya melihat kekhawatiran Irma. "Tenang saja, ada banyak orang di lapangan. Dia tak akan berani mendekatiku. Lagi pula ... sepertinya Nera tidak dibunuh malam ini." Suara Elisa terdengar memelan di bagian akhir.

"Jika melihat dari kondisi mayat Nera yang sudah membusuk, sepertinya memang dia sudah dibunuh beberapa hari yang lalu." Gia membenarkan ucapan Elisa. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Gadis itu tampak amat serius sekarang, mencoba mengingat ulang kejadian yang mungkin sempat dia lewatkan.

"Kurasa, kita sudah melewatkan sesuatu yang penting," ucap Nafita yang duduk tak jauh dari posisi Irma. Dia memeluk kedua lututnya yang ditekuk. Kepalanya sedikit menunduk.

Mendengar kalimat dari Nafita barusan, sebuah kejadian ganjil tiba-tiba terlintas di pikiran Elisa. Wajahnya turut berubah serius. "Sepertinya kita-"

"Elisa!" panggil seorang wanita berkebaya krem dengan rambut hitamnya yang disanggul rapi. "Kau ini kemana saja, sih? Ibu sudah mencarimu kemana-mana!" omel Arisa yang tadi memanggil putri sulungnya itu.

"Ibu?" Elisa menatap bingung kedatangan ibunya yang tiba-tiba.

"Ayo kita pulang sekarang! Suasana sudah kacau. Kau sudah melihat penemuan mayat di dekat sungai, kan? Sepertinya hal buruk akan terjadi!" Arisa menyambar tangan Elisa, memaksa putrinya itu untuk pergi bersamanya. "Kalian bertiga juga, cari orang tua kalian dan lekaslah pulang!" perintah wanita cantik itu sebelum akhirnya membawa Elisa pergi.

Tak dapat membantah, Elisa akhirnya pasrah mengikuti sang ibu. "Aku duluan, ya, teman-teman!" seru Elisa seraya menyeimbangkan langkahnya dengan langkah Arisa.

Irma, Nafita, dan Gia hanya bisa tersenyum dan mengangguk singkat melihat kepergian Elisa. Bagaimanapun juga, kondisi saat ini memang tidak memungkinkan untuk tetap melanjutkan acara. Wajah ketakutan, teriakan panik, dan tangisan-tangisan histeris sudah memenuhi lapangan. Orang-orang berlarian ke sana-kemari. Tiang-tiang lampu bahkan sudah ada yang roboh beberapa. Begitu juga dengan meja konsumsi dan meja untuk makan, semuanya sudah tampak kacau.

"Sudah ibu duga, pasti ini ulah makhluk jadi-jadian!" seru Arisa ditengah langkah cepatnya. "Tidak mungkin jika hanya kebetulan. Apalagi semua korban yang meninggal memiliki kondisi yang sama. Semua darahnya mengering seolah sudah disedot habis!

Elisa hanya terdiam mendengar celotehan ibunya. Entah ibunya itu tahu atau tidak tentang siluman penjaga Bukit Kabut, tapi yang jelas Elisa tak akan memberi tahu ibunya jika dia sudah mengetahui sesuatu mengenai kejadian yang menimpa desa mereka.

Kepala Elisa mulai menoleh ke kanan dan kiri, melihat jalur yang mereka ambil tampak berbeda dengan jalan yang tadi dia lewati saat hendak ke lapangan. Tentu saja, karena saat ini Elisa dan ibunya tengah berjalan menuju Desa Sungai Merah. Keluarga Elisa berencana menginap di rumah neneknya yang berada di desa itu.

"Ayah dan Nana tidak pulang dengan kita, Bu?" tanya Elisa begitu sudah cukup jauh melewati jalanan dengan pohon-pohon tinggi di sekelilingnya.

"Tadi Nana merengek minta pulang karena sudah mengantuk. Jadi, mereka pergi duluan. Kakek dan nenek menyusul kemudian," jelas Arisa tanpa menoleh pada Elisa. Wanita paruh baya itu tampak waspada melihat sekitar. Sebelah tangannya tak sedikitpun melepaskan tangan Elisa yang dia genggam.

"Begitu," gumam Elisa yang masih bisa didengar Arisa.

"Ngomong-ngomong, kau sudah membohongi Ibu, Elisa!" Kepala Arisa menoleh. Dia menatap tajam Elisa. "Kau bilang akan pergi bersama Irma, tapi Ibu bertemu dengan Irma dan keluarganya saat dalam perjalanan tadi!"

Elisa sontak langsung terdiam. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba mengulur waktu untuk mencari alasan yang bagus. "Awalnya aku memang berencana pergi dengan Irma, kok. Tapi, ternyata Irma harus membantu ibunya membawa makanan ke lapangan. Dia baru mengabariku saat sudah hampir gelap, jadi aku tak sempat melihat pesan darinya," jelas Elisa mencoba meyakinkan ibunya.

"Lalu, kau pergi sendirian?!" Suara Arisa meninggi. Wajahnya tampak semakin garang.

"Tidak, kok!" Elisa menjawab cepat. "Aku pergi bersama Raka tadi. Bibi Diva sempat melihat kedatangan kami, Ibu bisa bertanya pada beliau jika tidak percaya."

Dahi Arisa tampak mulai mengerut. "Raka anaknya pak kepala desa?" tanya wanita cantik itu memastikan, yang dijawab anggukan singkat dari Elisa.

Raut muka Arisa kini sudah berubah kaku. Dia menatap lamat Elisa di depannya, lalu berkata, "Jangan dekat-dekat dengan anak itu!"

Elisa yang mendengar perintah tak terduga dari ibunya, seketika langsung terdiam, memikirkan persentase kemungkinan jika ibunya mengetahui tentang asal usul Raka. "Kenapa tidak boleh, Bu? Raka kan, anak kepala desa, bukankah bagus jika aku dekat dengannya?" ujar gadis itu mencoba memancing sang ibu agar mau memberikan sedikit petunjuk padanya.

Arisa ikut terdiam untuk beberapa saat. "Tadi sebelum sesi tarian muda-mudi, pak kepala desa memberikan imbauan pada seluruh warga di desa kita. Mengingat adanya beberapa kejadian ganjil yang terjadi, pak kepala desa meminta agar para warga Desa Rembulan tidak keluar pada malam hari dan menjaga agar putra-putrinya tidak dibiarkan sendiri jika sedang berada di hutan." Arisa menjeda kalimatnya, membiarkan Elisa untuk menyerap apa yang baru saja dia ucapkan.

Elisa sontak langsung teringat akan kejadian tadi, saat dimana dirinya yang seharusnya sudah bisa menikmati semua hidangan yang tersedia, justru terpaksa melakukan tarian muda-mudi. Rupanya ini alasan kenapa Elisa harus melakukan hal yang menyebalkan itu. Karena waktu dimulainya tarian muda-mudi diundur paksa oleh pengumuman yang dibuat pak kepala desa. Sial sekali.

"Mendengar imbauan tersebut, sepertinya pak kepala desa mengetahui sesuatu. Dan Ibu khawatir, jika hal itu dapat memicu bahaya. Jadi, ibu minta kau jangan dekat-dekat dengan Raka, ya?"

Bohong. Elisa tahu alasan yang dibuat ibunya itu adalah sebuah kebohongan. Namun, dia tetap mengusung senyumnya. "Baik, Bu!" jawab Elisa dengan nada patuh layaknya seorang anak yang tak pernah membantah ucapan orang tuanya.

Arisa ikut tersenyum mendengar jawaban Elisa. Dia melepas genggaman tangannya, dan beralih merangkul pundak Elisa agar lebih dekat dengan putri sulungnya itu.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang