16.20 WIB
Kamis, 27 Mei 20XXSetelah hampir dua jam membantu menghias banyak tiang lampu, akhirnya kini Elisa, Irma, dan Gia bisa beristirahat. Ketiga gadis itu duduk di dekat salah satu meja konsumsi yang menyediakan banyak kue tradisional dan minuman dingin.
Irma terlihat amat antusias dengan cerita-cerita penuh semangat yang dia lemparkan. Gia tak kalah semangat menanggapi semua cerita dari Irma. Sementara Elisa, gadis itu hanya diam menyimak dengan mulutnya yang tak sedikitpun berhenti mengunyah. Dia bahkan sudah mengambil banyak kudapan untuk dihabiskan seorang diri.
Namun, kunyahan Elisa memelan begitu melihat penampakan Advis yang kini berjalan mendekat ke arah mereka. Sebuah buku yang dibawa laki-laki itu membuat Elisa jadi semakin penasaran untuk terus menatapnya. Elisa kenal buku itu, dan dia yakin jika itu adalah buku miliknya.
Tangan Elisa meletakkan daun pisang yang tadi membungkus kelicuk--kue tradisional berbahan dasar ketan dan campuran pisang--ke dalam karung yang berisi sampah, setelah isinya sudah habis dia lahap.
"El," panggil Advis yang kini sudah berdiri tepat di depan Elisa.
Kepala Elisa sedikit mendongak melihat Advis yang berdiri menjulang di depannya. Kedua alisnya terangkat, dengan tatapan tanya di mata besar gadis itu.
Advis menoleh sekilas pada Irma dan Gia yang duduk bersama Elisa, sebelum akhirnya kembali menatap Elisa. "Bisa aku bicara denganmu?" tanya Advis meminta izin.
Elisa memiringkan kepala. Matanya mengerjap lucu. "Kau kan sedang berbicara padaku." Dia menatap heran Advis.
Advis sontak saja terkesiap. Dia mulai salah tingkah dengan pipi yang sudah berubah merah. Sial, wajah manis Elisa benar-benar membuat jantungnya jadi tak tenang.
Advis berdehem pelan, mencoba menghalau rasa gugup yang tengah menghampirinya. "Ma-maksudku bicara secara pribadi. Hanya berdua," ucap Advis tanpa melihat Elisa.
Irma yang mendengar itu, seketika langsung melayangkan tatapan tajamnya pada Advis. Setelah apa yang tadi dialami Elisa, tentu Irma tidak bisa diam saja jika terjadi hal mencurigakan seperti sekarang. "Memang hal penting apa yang ingin kau bicarakan, Ad?" tanya Irma dengan tatapan menyelidik.
Advis kembali menoleh pada Irma, tatapannya mulai terlihat dingin. "Aku tak akan melukai Elisa, jika itu yang kau khawatirkan," ucapnya dengan nada yang tak kalah dingin.
Elisa menatap bergantian Irma dan Advis, sedikit ragu untuk menerima ajakan Advis. Namun, buku catatan miliknya yang kini berada di genggaman Advis membuat Elisa akhirnya memilih untuk bangkit dari duduknya. Dia mengusung senyum manis untuk Irma yang kini masih terlihat khawatir. "Tak apa, aku akan segera kembali." Elisa mencoba meyakinkan Irma.
Irma menghela napas pelan. Dia kembali melayangkan tatapan tajamnya pada Advis yang kini tengah tersenyum sumringah. "Aku akan membunuhmu jika terjadi sesuatu pada Elisa!" ancam Irma yang tak begitu digubris oleh Advis.
Daripada mempedulikan Irma, Advis lebih memilih untuk mulai menuntun Elisa ke tempat yang aman untuk melakukan percakapan rahasia.
Advis membawa Elisa ke tepi sungai yang dekat dengan jembatan dimana Elisa tadi menunggu Irma. Tak orang lain di sana, membuat Advis jadi merasa aman untuk membicarakan sesuatu yang penting pada Elisa. "Terima kasih untuk informasinya, El." Advis menyerahkan buku yang dia bawa kepada Elisa.
Elisa diam sejenak sebelum akhirnya mengambil buku tersebut. "Jadi kau sudah tahu," gumam Elisa masih dengan tatapan yang tertuju pada bukunya.
Advis mengangguk singkat, mengerti akan apa yang Elisa maksud. "Itu tidak sulit. Karena di kelas kita, hanya kau yang memiliki tulisan semi sambung." Advis mencoba menjelaskan. Meski sebenarnya, dia tidak begitu hapal dengan tulisan teman-temannya yang lain. Advis hanya mengingat tulisan tangan Elisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Desa Rembulan
Mystery / Thriller(Misteri - Fantasi - Psikologi) Bagi Elisa, ketenangan adalah yang utama. Selama tak mengganggu ketenangannya, Elisa tak akan mau peduli. Namun, sebuah kejadian aneh muncul di Desa Rembulan, desa tempat dimana Elisa dilahirkan dan dibesarkan. Dimul...