22

179 21 0
                                    

6.15 WIB
Jum'at, 28 Mei 20XX

Elisa tersenyum kecil melihat kedatangan Gia dan Bayu. Mereka bertiga memang sepakat untuk datang lebih awal hari ini. Tujuannya? Tentu saja untuk melanjutkan pembahasan mereka yang sempat tertunda tadi malam.

Mengabaikan senyum manis Elisa, Gia justru menatap tajam teman sekelasnya itu. Dia meletakkan tasnya di kursi miliknya sebelum menuju kursi di samping Elisa, lantas duduk di sana. Bayu mengikuti, dia duduk di bangku yang berada di belakang Gia.

"Jadi, bagaimana kau bisa tahu jika Kenya yang menjadi target selanjutnya?" tuntut Gia meminta jawaban. Gadis itu masih kesal perihal semalam, dimana dia yang sudah amat penasaran harus dibuat menunggu oleh Elisa.

"Sebelum kujawab, coba kau lihat ini dulu." Elisa menyodorkan catatan yang semalam dia buat, hasil dari merevisi catatan yang dibuat Advis.

Kak Hana => kakak Irmania => Murid kelas sebelas
Faladita Ariani => Murid kelas sebelas
Lusiana Cantika => Murid kelas sebelas
Kenya Sahaya => Murid kelas sebelas

Semua korban memiliki hubungan dengan kelas sebelas => Kemungkinan pelaku berasal dari kelas sebelas

Murid yang mencurigakan
Caraka Arnawala 45% => Anak angkat kepala desa (asal-usul pasti tidak diketahui), memiliki banyak koneksi, disegani banyak murid laki-laki

Algavinn 25% => Tidak hadir saat hilangnya Lusi, pindahan dari Desa Beringin

Finera Radela 15% => Tidak hadir saat hilangnya Lusi

Advis Kaniaga 10% => Mengetahui identitas Nafita = bukan manusia biasa?

Derry Bumanta 10% => Pindahan dari desa yang tidak diketahui hingga kini

Galio Arjuan 1% => Belum ada yang mencurigakan

"Advis bukan manusia biasa?" gumam Gia dengan sebelah alis yang terangkat. Dia menatap Elisa yang kini juga melirik dirinya.

"Ya. Ingat saat kemarin sore aku berbicara dengan Advis? Dia tak sengaja mengungkapkan fakta itu kemarin," jelas Elisa sebelum mengambil alih bukunya. Dia membalik kertas ke halaman dimana catatan yang dia buat sebelumnya berada. "Nah, sekarang coba kau lihat ini!"

Tatapan Gia berpindah ke arah kertas yang ditunjuk Elisa, tepatnya ke arah tanggal-tanggal penting hasil dari prediksi yang dibuat oleh teman sekelasnya itu.

Bayu yang berada di bangku belakang, kini mulai bangkit, dia berdiri di samping Gia dengan tatapan yang ikut melirik buku catatan Elisa.

"Jika berdasarkan tanggal penetapan target dan jadwal eksekusi, maka seharusnya kemarin si pelaku akan menetapkan targetnya. Lalu mengingat ketidakhadiran Kenya kemarin, dan analisa dari catatan ini ...." Elisa kembali membalik kertas ke halaman sebelumnya. "Bukankah besar kemungkinan jika Kenya yang menjadi target selanjutnya?"

Mendengar penjelasan Elisa, tatapan Gia mulai berubah tajam. "Apa kau lagi yang membuat ini, El?" Dia berucap dengan nada yang terdengar dingin.

Elisa memiringkan kepalanya melihat respon Gia yang tampak tak biasa. Dia diam sejenak, sebelum akhirnya menjawab, "Tidak. Advis yang membuatnya, aku hanya merevisi."

Mendengar itu, Gia tersenyum sinis. "Syukurlah kalau begitu," ujarnya dengan nada yang tak kalah sinis.

Elisa hanya mengerjap bingung mendengar ucapan Gia. Walau dirinya hanya juara empat, tapi Elisa tidak sebodoh itu untuk merebut posisi Gia yang merupakan juara dua di kelas mereka. Jadi, untuk apa Gia merasa tersaingi? Karena jika mau, Elisa sudah merebut posisi itu sedari dulu.

Mengabaikan tatapan bingung Elisa, Gia mulai melirik Bayu. "Bay, pulpen!" Dia menengadahkan telapak tangannya di depan wajah Bayu.

Bayu yang mengerti, dengan sigap langsung memberikan pulpen yang diminta Gia.

Setelah mendapatkan pulpen dari Bayu, Gia langsung menarik buku Elisa ke dekatnya. Dia mulai membuat catatan di lembar lain. "Semua siluman kucing hitam yang tinggal di Desa Rembulan sudah menyelidiki asal-usul para warga untuk mencari tahu siluman gagak hitam yang menyusup ke desa ini.

"Ada sekitar dua puluh warga yang memiliki asal-usul tidak pasti," jelasnya dengan tangan yang masih sibuk menulis. "Dan jika dipangkas lagi, maka ...." Gia memutar buku di depannya ke arah Elisa, memperlihatkan daftar tersangka baru kepada gadis itu.

Dugaan Pelaku
1. Caraka Arnawala
2. Algavinn
3. Derry Bumanta

Elisa membacanya sekilas, lalu kembali menatap tanya Gia. "Bagaimana dengan Advis, Nera, dan Juan?"

"Mereka memiliki asal-usul yang jelas. Orang tua mereka merupakan orang asli Desa Rembulan. Lebih lagi Advis, ayah bahkan merupakan seorang siluman kucing hitam. Jadi, tentu-"

"Tunggu!" seru Elisa tanpa aba-aba. "Ayahnya Advis seorang siluman?" Dia mengulangi ucapan Gia dengan wajah penuh tanya.

Gia menyeringai kecil, puas karena merasa sedikit unggul dari ketidaktahuan Elisa. "Ya, ayahnya Advis seorang siluman kucing hitam." Dia berujar dengan wajah bangga.

Kerutan di dahi Elisa perlahan mulai muncul. "Apa ini pernah terjadi sebelumnya? Maksudku, seorang anak dari siluman lahir sebagai manusia."

Gia menggeleng singkat. "Tidak, ini belum pernah terjadi." Dia menjeda kalimatnya, kedua tangannya mulai dilipat di depan dada. "Tapi, meski tidak memiliki tanda-tanda sebagai seorang siluman, itu akan menjadi masuk akal jika Advis bukan manusia biasa."

Elisa menampakkan wajah tak puasnya. Dia menatap Gia dengan raut serius. "Kau yakin?"

Gia lagi-lagi menyeringai. "Kau memiliki jawaban yang lebih masuk akal?" ujarnya dengan nada menyindir.

Elisa terdiam, walau menyebalkan, tapi dia memang tak memiliki jawaban lain yang lebih masuk akal. Dan lagi, Elisa bukanlah seorang siluman, jadi, tentu saja ada banyak informasi yang tidak dia ketahui.

Elisa menghela napas pelan sebelum akhirnya menyambar buku miliknya yang berada di depan Gia. "Tak perlu merasa tersaingi. Statusmu tak sedikitpun menarik bagiku," ucap Elisa tanpa melirik Gia, dia tampak sibuk memasukkan bukunya ke dalam tas.

Mendengar ucapan sarkas dari Elisa, mata Gia sontak saja berubah melotot. "Apa kau bilang? Merasa tersaingi?! Ha! Yang benar saja!!" Gia langsung pindah ke kursinya setelah mengucapkan kalimat dengan nada tinggi. Dia tampak amat jengkel karena kecemburuannya dapat terbaca oleh gadis menyebalkan seperti Elisa.

Bayu yang melihat kekesalan nona-nya, kini mulai melayangkan tatapan tajam pada Elisa--memberi peringatan agar gadis itu tidak mengusik Gia yang dia layani.

Elisa hanya tersenyum kecil, tak sedikitpun merasa terancam. Daripada itu, Elisa justru masih bingung dengan status antara Gia dan Bayu. Bukankah Bayu terlalu patuh pada Gia? Rasanya seperti robot tanpa perasaan yang diciptakan hanya untuk mengikuti Gia. Dan itu sangat aneh bagi Elisa.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang