15

201 20 0
                                    

13.10 WIB
Rabu, 26 Mei 20XX

Setelah menjelaskan tujuan kedatangan mereka ke sana, meminta izin pada neneknya Lusi, dan mendapatkan izin dari wanita tua itu, akhirnya semuanya berpencar. Irma langsung menarik tangan Elisa untuk menuju dapur, Kenya dan Nafita berjalan beriringan menuju kamar Lusi, lalu sisanya, para anak laki-laki, sudah pergi ke luar untuk memeriksa halaman rumah.

Irma yang bersama Elisa, tampak sangat bersemangat memeriksa seluruh penjuru dapur. Gadis itu membuka semua lemari penyimpanan satu-persatu, mengetuk sana-sini, mencari apapun yang terdengar janggal, dan tindakan lainnya yang memungkinkan gadis itu untuk menemukan sesuatu yang bisa dianggap petunjuk.

Sementara itu, tak seperti Irma yang tampak antusias, Elisa justru masih terdiam di tempat. Gadis itu lebih memilih untuk mengamati isi dapur, mencari petunjuk dengan mengandalkan penglihatannya, dan menyelidiki lebih lanjut jika menemukan sebuah kejanggalan. Hingga ....

Brak!

Dug!

"Aduh!" ringis Irma yang baru saja jatuh tersandung. Gadis itu terduduk di lantai. Tangannya mengusap dahi yang tadi membentur sisi meja.

Elisa yang melihat itu buru-buru langsung menghampiri Irma. "Astaga!" seru gadis itu dengan raut khawatir. "kau tak apa-apa, Ir?" Dia ikut berjongkok untuk memeriksa lebih dekat kondisi Irma.

Melihat raut khawatir Elisa, Irma langsung menyengir lebar, menunjukkan gigi-gigi putihnya yang berbaris rapi. "Aku baik-baik saja." Dia berujar enteng, lantas langsung berdiri. "Ayo kita lanjutkan pencarian!" serunya yang kemudian sudah bergerak kembali, menyelidiki seisi dapur.

Elisa yang melihat itu hanya menghela napas panjang. Dia menggeleng singkat melihat Irma yang sudah kembali bersemangat melanjutkan pencarian, seolah apa yang tadi dia alami tak pernah terjadi.

Elisa yang sudah bersiap untuk berdiri langsung berhenti, begitu sesuatu yang janggal menarik perhatiannya. Tangan pucat gadis itu menyingkap alas kain yang tadi membuat Irma tersandung. Ada susunan papan kayu yang tak tersambung dengan papan lainnya di bawah alas kain tersebut. Nampak seperti pintu untuk menuju ruang bawah tanah. Namun, anehnya tak ada gagang untuk menarik susunan papan itu, seolah menegaskan jika di sana tak ada apa-apa, tapi justru itu yang menarik kecurigaan seorang Elisa.

Karena tak memungkinkan untuk ditarik, Elisa akhirnya memilih untuk mendorong papan tersebut. Dan berhasil, ada sedikit pergerakan, tapi tertahan oleh sesuatu yang berada di bawahnya. Tatapan Elisa mulai berubah tajam, semakin yakin untuk mencari petunjuk dari bawah sana. Dia mulai mengedarkan pandangan untuk menemukan sesuatu yang mungkin dapat membantunya mendorong papan itu.

Namun, sebelum sempat Elisa menemukan alat yang dia butuhkan, neneknya Lusi sudah lebih dahulu tiba di dapur. Wajahnya tampak panik melihat Elisa yang tengah menyelidiki susunan papan tadi. Dia buru-buru menarik alas kain, lantas menutup kembali tempat itu. "Sudah. Tidak ada apa-apa di sini!" ucapnya dengan wajah yang mulai terlihat kesal.

Irma yang mendengar itu langsung menoleh. Dia menatap bergantian antara neneknya Lusi dan Elisa. "Nenek-"

"Sudah, cukup!" Neneknya Lusi melayangkan pelototan pada Irma. "Kembalilah, kalian sudah terlalu lama di sini!" Dia menarik tangan Elisa untuk meninggalkan dapur, membuat Irma mau tak mau jadi mengikuti keduanya. 

Kenya dan Nafita yang berada di dalam kamar, seketika langsung berlari setelah mendengar kegaduhan dari arah luar. Keduanya tampak bingung melihat wajah neneknya Lusi yang tadi terlihat ramah, kini sudah bertampang galak.

Tangan keriput itu akhirnya melepaskan pergelangan tangan Elisa begitu sudah berada di luar rumah. "Pulanglah! Orang tua kalian akan khawatir jika kalian tak kunjung pulang!" Dia menatap tajam para remaja di depannya.

Kedua alis Kenya menekuk, tak suka mendengar ucapan neneknya Lusi yang seakan tengah mengusir mereka. "Bukankah tadi nenek sudah mengizinkan-"

"Tidak ada apa-apa di rumahku!" Neneknya Lusi memelototi Kenya, suaranya semakin meninggi. "Kalian harus pulang sekarang. Pergilah!" ujarnya yang kemudian langsung masuk ke dalam rumah, dan disusul dengan bantingan pintu yang mengejutkan Elisa dan kawan-kawannya.

Raka, Juan, dan Derry baru tiba kemudian. Ketiganya tampak bingung melihat teman-teman mereka yang kini justru berada di luar.

"Ada apa?" tanya Raka pada Kenya yang terlihat paling memungkinkan untuk menjawab pertanyaannya.

"Neneknya Lusi mengusir kita," jawab Kenya tanpa mengalihkan tatapannya dari pintu kayu yang tadi dibanting.

Juan langsung melotot mendengarnya. "Bagaimana bisa? Kalian membuat kesalahan apa sampai bisa diusir begitu?"

Tatapan tajam Kenya akhirnya berpindah pada Juan. "Lebih baik tutup mulutmu itu. Pertanyaanmu sangat tidak berguna!" ujar Kenya dengan nada sinisnya.

"Hey, itu pertanyaan yang-"

"Sudahlah!" potong Raka seraya memberi isyarat pada Juan untuk tetap diam.

Juan mau tak mau akhirnya memilih diam. Dia mendengkus kesal sebelum akhirnya memalingkan wajah.

Raka kembali menatap Kenya, lalu berpindah pada yang lain. "Bagaimana? Apa kalian menemukan sesuatu?"

Kenya menghela napas berat, lantas menatap Raka dengan raut cemberut. "Tak ada apa-apa di kamar Lusi."

"Betul!" sahut Nafita membenarkan kalimat Kenya. "Bahkan tanda-tanda pintu atau jendela yang dibuka paksa juga tidak ada di dalam sana."

"Di halaman depan dan ruang tamu juga tak ada." Derry ikut berkomentar.

Juan mengangguk singkat. "Iya, semuanya tampak normal."

"Dapur juga demikian." Irma berucap lesu, kecewa karena tak bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.

Raka hanya mengangguk singkat mendengar laporan teman-temannya, kemudian menatap Elisa yang tampak tak berniat untuk bersuara. Dia menghela napas pelan melihat gadis dengan tubuh mungil yang hanya setinggi pundaknya itu. "Aku juga tak menemukan apa-apa di halaman belakang," ujar Raka pada akhirnya.

"Sepertinya kita benar-benar berada di titik buntu," gumam Kenya yang masih bisa didengar oleh teman-temannya.

"Bagaimana kalau kita lanjutkan besok?" usul Elisa yang sedari tadi hanya diam. "Ini sudah terlalu lama," lanjut gadis itu seraya memandangi jam di pergelangan tangannya.

Kenya sekali lagi menghela napa berat. "Ya, ayahku akan mengomel jika lebih dari ini ." Dia ikut melirik jam miliknya.

"Kalau begitu, ayo pulang!" seru Juan dan Derry yang sudah berjalan lebih dulu.

"Baiklah, sampai jumpa besok, semuanya!" Nafita melambaikan tangannya, sebelum melangkah ke arah yang berlawanan.

Irma balas melambaikan tangannya, lalu ikut menyusul kepergian Juan dan Derry.

Kenya hanya menyeringai kecil melihat kepergian Nafita. Dia melirik sekilas rumah Lusi sebelum mengikuti langkah teman-temannya.

Kini hanya tinggal Elisa dan Raka yang masih tak bergeming di tempat. Keduanya tampak masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Elisa yang tengah memandang rumah kayu milik Lusi. Dan Raka yang tengah menatap intens Elisa.

Cukup lama memandangi rumah tersebut, Elisa akhirnya balas menatap Raka. "Ada yang ingin kau tanyakan?" Gadis itu bertanya dengan nada bicaranya yang selalu terdengar tenang.

Raka menyeringai kecil. "Kalaupun kutanyakan, aku yakin kau tak akan menjawabnya, El." Laki-laki itu menatap dalam iris hitam Elisa, lantas menyusul teman-temannya yang lain, yang sudah pergi cukup jauh. "Aku duluan!" ucap Raka tanpa menoleh pada Elisa.

Elisa menghela napas panjang. Dia kembali melirik rumah Lusi. Itu rumah sederhana dengan papan dan kayu yang menyusunnya. Pagar dari bambu yang sudah dibelah tipis, pun tampak mengelilingi rumah itu. Rumah yang teramat sederhana, tapi menyimpan begitu banyak rahasia di dalamnya.

Cukup lama memandangi, Elisa akhirnya ikut melangkah pergi, melewati jalan kecil yang berupa tanah, dengan sekelompok pohon bambu yang memenuhi sisinya, jalan yang tadi mereka lewati.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang