09

248 33 0
                                    

12.06 WIB
Selasa, 25 Mei 20XX

Langkah Gia dan Bayu tampak serentak melewati jalan beraspal yang merupakan jalur utama menuju Desa Rembulan. Pohon kapuk tumbuh berjejer di sisi kanan-kiri jalan. Dibawa oleh sang angin, serabut putihnya sesekali melewati wajah Gia dan Bayu.

"Kau lihat gerak-geriknya saat di kelas tadi?" Gia menoleh sekilas pada Bayu. Wajahnya tampak serius. 

Bayu mengangguk singkat, seakan tahu siapa yang dimaksud oleh Gia. "Ya, Nona," jawabnya dengan wajah yang selalu tampak tenang.

Gia diam sejenak. Kerutan halus mulai muncul di dahinya. "Kurasa ... dia juga menjadi target para siluman terkutuk itu. Bagaimana menurutmu?"

Mendengar pertanyaan Gia, kedua tangan Bayu sontak langsung mengepal. Kepalanya tertunduk dengan rahang yang tampak mulai mengeras.

Gia menyeringai kecil melihat respon yang Bayu tunjukkan. "Sepertinya kau juga sependapat denganku."

Langkah Bayu seketika langsung berhenti. Raut mukanya mulai menunjukkan binar tak suka.

Melihat itu, Gia ikut menghentikan langkah. Dia menatap penasaran Bayu. "Ada apa?" Kepala Gia sedikit meneleng.

"Saya yakin anda tidak melupakan soal ramalan itu." Suara Bayu terdengar pelan. Namun, ada sedikit penekanan dalam kalimat yang laki-laki itu ucapkan.

Sebelah alis Gia terangkat. Dia terdiam sejenak sebelum mengusung sebuah senyuman. "Aku mengerti." Dia berjalan mendekati Bayu. Tangan putih Gia terangkat, hendak memegang pundak lebar Bayu. "Tapi, Elisa juga teman kita, Bay. Sebagai teman, tentu kita harus saling menjaga, bukan?"

Kepala Bayu akhirnya terangkat. "Bahkan meski itu harus mengorbankan nyawa anda dan seluruh ras kita, anda akan tetap memilih untuk terlibat?"

Mendengar itu, senyum di bibir Gia perlahan mulai memudar. Tangan putihnya ditarik kembali dari pundak Bayu. Bibirnya terkatup rapat.

Bayu ikut membisukan diri melihat keterdiaman Gia, membiarkan riak sungai di sisi kiri jalan, menjadi pengisi suara yang mendominasi suasana di antara mereka.

"Kau tahu bukan itu maksudku, Bay." Gia membuang muka. Dia kembali melanjutkan langkahnya.

"Tapi, jika anda ikut campur, ramalan itu benar-benar akan terjadi. Masa-masa kelam-"

"Jadi, kau sungguh akan membiarkan teman sekelasmu mati satu-persatu, Arbayuano?" potong Gia dengan suara yang meninggi. Badannya sudah berbalik, kembali menghadap Bayu. Tatapan marah kini tampak mendominasi wajahnya.

Tangan Bayu mengepal kuat. Rahangnya semakin mengeras. "Jika itu bisa melindungi Nona, apapun akan saya lakukan!" Bayu menjawab mantap, tanpa keraguan sedikitpun dalam kalimatnya.

Tatapan Gia mulai berubah tajam. "Kau tahu? Aku sangat membenci sifatmu yang egois ini!" ujarnya dengan penuh penekanan.

Lagi, Bayu kembali membiarkan suara alam yang mengisi keheningan di antara mereka. Karena sebagai seseorang yang berkewajiban menjaga keselamatan Gia, Bayu tentu tak bisa menerima keputusan Gia yang akan membahayakan nyawanya sendiri. Karena, apapun akan Bayu lakukan demi menjaga Gia, bahkan meski itu harus mengorbankan banyak nyawa.

"Wah, sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat," celetuk seseorang dari belakang Bayu.

Gia dan Bayu sontak langsung menatap orang itu. Keduanya saling pandang sesaat, sebelum kembali melihat Nafita yang kini sudah mengusung senyum lebar.

"Aku yakin kalian sudah tahu siapa aku. Karena, sebagai makhluk dari 'ras' yang sama, tentu dapat merasakan kehadiran satu sama lain, bukan?" Senyum Nafita kian melebar. Dia maju selangkah, mendekati Gia yang kini menatap tajam dirinya.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang