06

263 31 0
                                    

16.40 WIB
Senin, 24 Mei 20XX


Langkah Elisa bergerak pelan menyusuri jalan kecil yang diapit oleh ilalang. Jejak kakinya tampak membekas di atas jalan yang masih berupa tanah. Suara jangkrik mulai terdengar dari arah hutan yang sebentar lagi akan Elisa lewati. Gadis itu kini tengah menuju Bukit Kabut, hendak memenuhi undangan dari salah satu teman sekelasnya, Kenya.

Walaupun menyebalkan, tapi sebenarnya Kenya itu teman yang cukup royal. Dia tak pernah hitung-hitungan mengenai urusan uang. Bahkan hampir setiap minggu gadis itu mengadakan acara hanya untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Elisa yang tak pernah menyukai acara yang melibatkan banyak orang, sesekali akan ikut menghadiri acara yang dibuat oleh Kenya. Bukan karena dipaksa oleh Irma, tapi sebagai seorang anak sekolah, Elisa pun ingin akrab dengan teman-teman sekelasnya.

"Elisa!" panggil seseorang dari arah belakang, membuat langkah Elisa langsung terhenti.

Elisa menoleh, melihat Nafita yang kini tengah berlari kecil ke arahnya. Kedua alis Elisa terangkat. Dia pikir hanya dirinya yang akan terlambat, rupanya tidak.

"Sepertinya kita sudah sangat terlambat." Nafita menyengir lebar begitu sudah berdiri di samping Elisa.

Elisa hanya mengangguk singkat, lantas kembali melanjutkan langkahnya dengan Nafita yang menemani.

"Oh, ya!" Nafita berseru singkat. "Kudengar, kali ini kita akan bakar-bakar ikan. Kau tahu? Aku sangat menyukai ikan bakar. Ah, tak sabar rasanya ingin cepat-cepat sampai."

Elisa hanya tersenyum kecil menanggapi cerita panjang lebar dari Nafita. Walau sedikit melelahkan, tapi setidaknya dia tidak perlu repot-repot ikut bersuara. Lain halnya dengan Irma, karena jika sahabatnya itu sedang bercerita, Irma akan kesal jika Elisa tak membalas ucapannya.

"Em, El," panggil Nafita dengan suara yang tampak ragu-ragu.

Elisa yang dipanggil kembali menoleh pada Nafita. Kedua alisnya terangkat, dengan tatapan tanya di matanya.

"Kudengar, di acara desa nanti, kau akan berpasangan dengan ... Advis." Suara Nafita terdengar memelan di bagian akhir.

Langkah Elisa seketika langsung berhenti. Senyum di wajahnya, pun mulai memudar. Dia sedikit mendongak menatap Nafita yang lebih tinggi darinya. Elisa terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Kenapa? Kau tak suka?"

Kedua mata Nafita sontak langsung membulat mendengar pertanyaan tak terduga itu. "Ha? Ah, ti-tidak! Aku hanya memastikan." Nafita menjawab cepat. Ucapannya terdengar gelagapan. Dia mulai membuang muka, menghindari Elisa yang terus menatapnya.

Elisa menghela napas panjang. Dia kembali melanjutkan langkahnya. "Aku bisa membatalkan itu jika kau mau." Dia berucap tanpa menatap Nafita. Wajahnya tampak tenang.

Langkah Nafita ikut bergerak. Dia menoleh sekilas pada Elisa, sebelum kembali menghadap depan. "Kalau boleh jujur." Kepala Nafita sedikit menunduk. Senyum kecil mulai terbit di bibirnya. "Sebenarnya ... aku menyukai Advis."

"Aku tahu."

Kedua mata Nafita saat itu juga langsung membulat. Mulutnya sedikit terbuka. Dia menatap tak percaya pada Elisa yang masih saja menampakkan wajah tenangnya.

Elisa kini ikut menoleh pada Nafita. Dia tersenyum kecil. "Tenang saja, aku tak akan merebut Advis."

Bibir Nafita tampak menipis. Kedua tangannya terkepal kuat. "Tapi, kau akan berpasangan dengannya, El."

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang