08

243 28 0
                                    

"Kalian pernah mendengar kisah kelam tentang desa kita?" Lusi yang sedari tadi diam menyimak, tiba-tiba berujar misterius. Semua sontak langsung menatap gadis itu. Penasaran akan cerita yang akan disampaikannya.

-
-
-

"Kisah ... kelam?" Nafita membeo pelan. Dahinya mulai berkerut.

"Kisah apa?" Kenya menoleh. Wajahnya tampak penasaran.

"Tolong ceritakan, Lu," pinta Irma cepat.

Lusi tersenyum kecil sebelum memulai ceritanya. "Nenekku bilang, dulu, di bawah kaki Bukit Kabut ada tiga desa dengan tiga siluman berbeda yang melindungi. Manusia dan siluman hidup berdampingan saat itu. Hingga, suatu hari, raja siluman yang berasal dari Desa Beringin menjadi siluman dengan kekuatan terhebat.

"Semua yang semula baik-baik saja, perlahan mulai berantakan. Siluman penjaga Desa Beringin mulai menunjukkan keangkuhannya dengan kekuatan hebat yang mereka miliki. Penindasan, pelecehan, dan pembunuhan, perlahan mulai menguasai tiga desa.

"Puluhan tahun neraka itu tercipta. Karena, tak hanya sang raja, tapi kekuatan itu juga akan terus diturunkan pada keturunannya. Semua yang memiliki darah sang raja, pasti akan memiliki pula kekuatan hebat itu.

"Setelah puluhan tahun berlalu, Dewi penjaga Bukit Kabut akhirnya mengetahui semua kekacauan yang terjadi. Dia murka melihat para siluman yang seharusnya melindungi desa beserta penduduknya, justru menjadi petaka untuk mereka.

"Dengan kekuatan hebat yang dimiliki, sang Dewi pun akhirnya meminjamkan kekuatannya pada seorang manusia terpilih. Tak tanggung-tanggung, manusia yang mendapat kekuatan itu, tanpa ampun langsung menghabisi semua keturunan raja siluman dari Desa Beringin.

"Dan untuk mencegah kejadian tersebut terulang kembali, juga sebagai hukuman karena sudah melanggar ketentuan untuk menjaga desa, sang Dewi akhirnya memaksa para siluman untuk hidup secara sembunyi-sembunyi dari manusia. Mereka yang identitasnya sampai diketahui oleh manusia biasa, dan tanpa adanya kepentingan mendesak, saat itu juga akan lenyap dari muka bumi."

Kelas seketika langsung hening. Wajah-wajah takut sekarang sudah mendominasi.

Kepalan tangan Irma menguat. Dia menelan ludah kasar, sebelum akhirnya berkata, "Lalu, apa hubungannya dengan ... kematian kakakku dan Fala?" Suara Irma memelan di akhiri.

Kedua alis Lusi terangkat. Kepalanya meneleng ke samping. "Tentu saja, itu karena sang raja siluman membutuhkan darah manusia untuk membangkitkan kekuatan hebatnya." Dia menjawab santai.

Dahi Kenya mengernyit. "Kau bilang kekuatan itu hanya diturunkan pada keturunan sang raja. Dan, bukankah kau juga bilang, jika manusia terpilih itu sudah menghabisi seluruh keturunan sang raja?" Dia menatap bingung Lusi.

Lusi mengangguk singkat. "Ya, jika menurut cerita yang beredar memang begitu," ucapnya masih dengan wajah yang tampak tenang. "Tapi ... ada rumor yang mengatakan, jika raja siluman masih memiliki satu keturunan terakhirnya, yang didapat dari perselingkuhannya dengan wanita malam." Kali ini, Lusi menjelaskan dengan suara pelan.

Tentu saja semuanya terkejut mendengar itu. Karena jika cerita yang Lusi katakan benar adanya, maka masa kelam itu pasti akan kembali. Keturunan sang Raja akan memiliki kekuatan dahsyat, dan dendam yang dimiliki para siluman dari Desa Beringin pasti akan berlanjut.

"Kau bilang, untuk membangkitkan kekuatan, para keturunan raja membutuhkan darah manusia. Apakah dalam memilih mangsanya, para siluman itu memiliki syarat tertentu?" Elisa bertanya ragu-ragu.

Lusi kembali memiringkan kepalanya, berpikir sejenak. Kemudian berseru pelan. "Ah! Kudengar, siluman itu membutuhkan darah dari gadis perawan dengan wajah menawan, dan setiap berburu mangsa, para pemburu itu sangat senang mencium wangi mangsanya tersebut."

Elisa langsung terdiam dengan degub jantung yang menggila. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Kedua telapak tangan Elisa yang berada di pangkuan, kini saling meremas satu sama lain.

"Ah! Wangimu selalu saja memabukkan."

Suara itu muncul tanpa permisi dalam pikiran Elisa. Getaran halus mulai menyelimuti tubuh ringkihnya. Elisa menelan ludah kasar sebelum bertanya, "Setelah menemukan korban ... apa para siluman itu akan langsung mengeksekusi mereka?" Elisa memaksakan suaranya untuk tetap terdengar normal.

Dahi Lusi mulai mengernyit. Wajahnya tampak serius, mencoba mengingat-ingat informasi yang pernah dia dapatkan. "Em, sepertinya tidak."

Jawaban Lusi sontak membuat wajah Elisa langsung tegang.

"Jika tidak salah ... tiga hari setelah menemukan korban, barulah mereka akan mengambil darah korbannya itu."

"Tiga ... hari?" Elisa membeo dengan tatapan yang mulai kosong. Napasnya mulai menderu. Pikirannya mulai menjelajah entah kemana.

Beberapa detik terhanyut dalam ketakutan, kepala Elisa akhirnya terangkat. "Ah, begitu. Terima kasih atas informasinya, Lu." Elisa mengusung sebuah senyum kecil. Remasan di kedua tangannya semakin kuat.

Lusi hanya mengangguk singkat. "Ya, sama-sama," jawabnya seraya ikut tersenyum. "Oh ya, apa kalian akan melayat ke rumah duka pulang sekolah nanti?"

Semua mata kompak langsung menatap Kenya, seakan menyerahkan jawaban itu sepenuhnya pada Kenya.

Merasakan tatapan tanya dari teman-temannya, Kenya mulai mendongak. Dahinya berkerut halus. "Tentu saja aku akan ke sana!" serunya yang kemudian langsung membuang muka.

"Aku juga akan hadir." Nera yang sedari tadi diam, berujar buru-buru.

Nafita menampakkan tatapan sedih. "Aku juga ingin pergi, tapi ibuku sedang sakit, jadi aku harus merawatnya."

Kedua alis Lusi terangkat. "Oh, benarkah? Semoga ibumu lekas sembuh, Naf." Lusi tersenyum tipis pada Nafita.

Nafita ikut tersenyum. "Terima kasih."

"Kurasa aku cukup luang untuk hadir." Kali ini Raka yang berujar. Laki-laki jangkung itu berbicara dengan kepala yang menunduk. Tatapannya tampak kosong.

"Jika Raka ikut, tentu saja kami juga ikut!" Vinn berujar antusias yang langsung diangguki Juan dan Derry.

"Maaf tak bisa ikut hadir, aku ada sedikit urusan." Gia berucap datar.

Lusi tersenyum kecil. "Tak apa." Dia berujar pelan. Lantas menoleh pada Elisa dan Irma yang duduk di seberangnya. "Lalu, bagaimana dengan Elisa dan Irma, apa kalian ikut?" tanya gadis itu mengabaikan Advis dan Bayu.

Tentu saja, karena tanpa ditanyapun, semua sudah tahu apa jawaban dua manusia itu. Advis yang sudah seperti perangko, pasti tak akan jauh-jauh dari Nafita. Begitu pula dengan Bayu yang selalu mengekor kemanapun Gia pergi, pasti akan mengikuti keputusan Gia.

"Kurasa aku bisa. Bagaimana denganmu, El?" Irma menatap Elisa yang duduk di sampingnya.

Elisa tak langsung menjawab. Dia diam sejenak sebelum berucap, "Akan kuusahakan." Kepala gadis itu kembali menunduk.

"Baiklah, untuk yang bisa, bagaimana jika kita ke sana bersama-sama pulang sekolah nanti?" Lusi memberikan saran, yang langsung disetujui oleh teman-temannya.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang