13

204 25 0
                                    

10.06 WIB
Rabu, 26 Mei 20XX

Bel istirahat baru saja berbunyi, beberapa murid kelas sebelas tampak sudah keluar kelas untuk membeli makan, ke toilet ataupun sekadar menghirup udara segar di luar.

Namun, Elisa yang biasanya menghabiskan waktu di hutan di belakang sekolah, kini tak sedikitpun bergeming dari tempat duduknya. Gadis itu masih mematung dengan tatapan kosong. Bahkan Irma yang tadi pamit untuk membeli makan, tak Elisa hiraukan keberadaannya.

Gia dan Bayu yang mejanya bersebrangan dengan Elisa, pun tampak senyap. Padahal dua orang itu selalu mendiskusikan banyak hal jika sedang istirahat. Namun, sekarang keduanya tampak tenang menikmati bekal masing-masing.

Juga Raka dan Kenya, jika biasanya mereka selalu keluar bersama teman-temannya, kali ini keduanya kompak membisu seorang diri di tempat duduk masing-masing.

Hingga cukup lama terdiam, Elisa akhirnya menunjukkan pergerakan. Dia tampak mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Begitu berhasil, Elisa langsung membuka buku yang tadi dia ambil. Beberapa detik memandang catatan di dalam buku miliknya, Elisa akhirnya menutup kembali buku tersebut. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja Gia.

Gia yang tadi tengah fokus makan, kini mendongak begitu menyadari keberadaan Elisa di depan mejanya. Gia meletakkan sendok dan garpu yang tadi dia gunakan. "Ada apa?" tanya gadis itu pada Elisa.

"Bisa ikut aku sebentar?" Elisa berucap dengan suara pelan. Tatapannya tampak datar dengan raut yang sulit diartikan.

Gia menoleh sekilas pada Bayu yang kini tengah menatapnya, lantas mengangguk singkat. "Tentu," jawab Gia yang kemudian langsung bangkit dari duduknya. Dia menutup bekal miliknya sebelum mengikuti Elisa yang sudah lebih dahulu melangkah ke luar.

Kenya dan Raka yang memang tak sedang melakukan apa-apa, tak sedikitpun melepaskan pandangannya dari Elisa dan Gia yang kini sudah hampir menghilang di balik pintu. Keduanya tampak penasaran dengan apa yang akan Gia dan Elisa bicarakan. Apakah tentang kejadian tadi? Atau ada hal penting lainnya? Entahlah, mereka hanya bisa menebak.

Gia mengedarkan pandangannya begitu langkah Elisa berhenti. Hutan dengan banyak pepohonan tinggi, sebuah batu besar di pinggir sungai, rumput-rumput yang masih basah karena embun, juga garis cahaya yang menerobos di antara sela-sela rimbunnya dedaunan.

"Aku tidak bisa memastikan jika ini akurat, tapi, kuharap ini bisa menjadi petunjuk yang berguna." Elisa menyodorkan buku miliknya yang sudah dia buka tepat di halaman dimana ada catatan yang gadis itu tulis.

Sebelah alis Gia terangkat, mendengar ucapan Elisa, lantas menoleh pada buku yang gadis itu berikan padanya. Tangan putih Gia menerima buku yang Elisa sodorkan. Tatapannya mulai terlihat serius menatap catatan di dalam buku itu.

Beberapa detik memandang isi di dalam buku tersebut, dahi Gia kini mulai menunjukkan kerutan. "Jika catatanmu benar, itu artinya ...." Gia menghentikan kalimatnya, dia kembali menatap Elisa dengan raut yang tampak ketakutan. "Kau bukan korban yang akan dieksekusi, melainkan-"

"Korban yang ditetapkan untuk dieksekusi tiga hari kemudian." Elisa memotong ucapan Gia. "Ya, aku adalah calon korban ke empat."

Kerutan di dahi Gia semakin menjadi. Tatapannya berpindah pada catatan yang dibuat Elisa. Bola matanya seketika langsung melebar begitu menyadari fakta lain dari apa yang sudah Elisa buat. "Sekarang ... tanggal dua puluh enam?" Dia menatap tak percaya Elisa. "Berarti-"

"Besar kemungkinan jika Lusi adalah korban ke tiga." Elisa lagi-lagi memotong ucapan Gia. Wajahnya tampak amat serius dengan tatapan yang mulai menajam.

Gia menelan ludahnya kasar. Sebelah tangannya yang tak memegang buku, kini mulai mengepal kuat. Tubuhnya mulai tampak gemetar. "Makhluk sialan itu!" gumam Gia dengan mata yang dipenuhi kebencian.

Elisa diam sejenak melihat respon yang Gia tunjukkan, sebelum akhirnya berkata, "Bagaimana jika meminta bantuan rasmu, Gia? Para siluman kucing hitam." Elisa bersuara pelan.

Gia seketika langsung melotot mendengar ucapan Elisa barusan. "Kau! Siapa kau sebenarnya, El?!" tanya Gia dengan tatapan yang sudah berubah tajam. Suaranya terdengar dingin.

Elisa mengatupkan bibirnya. Dia tak langsung menjawab pertanyaan Gia. Gadis itu lebih memilih untuk membuang muka.

"Jawab aku, Elisa!" seru Gia dengan suaranya yang meninggi. Wajah gadis itu kini mulai nampak emosi.

Elisa akhirnya kembali menoleh pada Gia. "Itu juga yang kutanyakan pada diriku, Giara!" jawab Elisa dengan suara pelan dan penuh penekanan. Dia kembali membuang muka setelah beberapa detik membalas tatapan tajam Gia. "Makhluk itu ... dia tampak ketakutan setelah mencium bau tubuhku."

Gia kembali mengerutkan dahinya, ikut bingung dengan kondisi yang tengah mereka alami. Tentang siapa Elisa yang sebenarnya? Siapa makhluk yang menjadi keturunan terakhir sang raja? Dan ... siapa yang akan menjadi 'pemicu' dari ramalan itu?

Gia menatap sejenak Elisa yang juga nampak kebingungan. Dia mendengkus pelan sebelum akhirnya berbalik badan. "Ada yang harus kulakukan. Aku duluan," ucap gadis itu seraya berjalan menjauh.

Elisa akhirnya kembali menoleh pada Gia. "Hey, Gia, bagaimana dengan usulanku barusan? Mengenai ras-"

Langkah Gia langsung terhenti mendengar ucapan Elisa. "Bisakah kau tak menyebutkan itu? Nyawaku bisa terancam jika sampai ada yang mendengarnya!" ucap gadis itu dengan matanya yang melotot garang.

Elisa seketika langsung mengatupkan bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian, dia kembali bersuara, "Maaf. Tapi, bisakah kau meminta bantuan-"

"Ya, ya, aku tahu!" potong Gia dengan wajahnya yang semakin garang. "Aku akan meminta bantuan mereka. Jadi, berhentilah membahas itu!" Kali ini, Gia benar-benar pergi, meninggalkan Elisa yang kini masih terdiam di tempatnya.

Begitu penampakan Gia menghilang, tatapan Elisa berpindah pada tempat dimana biasanya dia menghabiskan waktu saat jam istirahat. Tepat di bawah rimbunnya pohon beringin, di pinggir sungai kecil, dan di samping batu besar. Cukup lama memandangi tempat itu, Elisa akhirnya memilih untuk ikut pergi, kembali ke dalam kelas.

Desa RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang