Gian bangun saat matahari sudah bersinar terang meskipun ia yakin suhunya tidak lebih dari lima belas derajat. Sudah memasuki awal musim dingin dan cuacanya semakin membuat Gian malas beranjak dari ranjang. Masih terlalu pagi menurutnya, dan kelasnya juga tidak ada hari ini. Ia bergelung di dalam selimut. Menutup matanya dan kembali berusaha menjemput mimpi yang tadi tertinggal meskipun ia tidak tahu juga apa yang dimimpikannya.
Dunia mimpi lebih menarik dibandingkan kenyataan yang harus dihadapinya di sini. Makhluk-makhluk yang sampai beberapa bulan lalu masih berada di bagian tidak nyata dalam kepalanya kini berpindah satu persatu. Ia sendiri lupa batasan yang nyata dan tidak. Garis tegas yang dulu ia buat terasa samar sekarang.Ada bagian darinya yang penasaran bagaimana rupa makhluk-makhluk itu, tapi ia juga ngeri jika membayangkan akan semakin terperosok dalam dunia yang tidak diketahuinya. Sesekali ia ingin mempraktikkan moto orang-orang; ignorance is bliss. Tapi, kurang terperosok apa ia kalau memang hidupnya memiliki benang merah dengan Codru? Persetan memang para leluhurnya. Mentang-mentang mereka tidak mengenalnya, tetapi malah menjadikannya tumbal. Kenapa juga pria itu tidak mengambil tumbal keluarganya yang lain?!
Yeah right, kayak itu berpengaruh saja dengan benang merah yang melingkari mereka.
Gian menendang selimutnya dengan kasar hingga teronggok di lantai. Berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya lalu berpakaian setelah memeriksa berapa perkiraan suhu hari ini. Di bawah sepuluh derajat, lebih baik ia menggunakan pakaian yang hangat sebelum pergi dan berjalan-jalan di hutan belakang kastil ini. Itu lebih menarik ketimbang bertatap muka dengan makhluk yang akan membuatnya mati berdiri.
Ia mengenakan syal dan juga topi rajut kemudian berjalan keluar kamarnya. Berjinjit seperti pencuri agar tidak ada yang menyadari kehadirannya atau ia yang sudah hilang dari peredaran di kastil ini. Kamarnya yang berada di sayap selatan, membuat Gian kerap kali kesusahan jika ingin kabur. Seluruh aksesnya sangat mudah dilihat oleh orang-orang yang tinggal di sini karena dekat dengan satu-satunya pintu untuk keluar masuk. Entah itu atau memang pendengaran mereka yang super itu sangat menjengkelkan.
Ia turun tangga, mengintip dari balik tembok batu untuk melihat arah ruangan yang dipakai oleh Codru untuk menjamu tamu-tamunya. Aman. Masih sangat sepi dan senyum lebar langsung terpatri di bibirnya hingga ia berbalik dan senyuman itu luntur seketika.
Ada pria yang berdiri di hadapannya. Bertubuh lebih besar dari Codru dan tidak pucat. Pria itu memakai kaos putih yang dilapis dengan jaket kulit dan celana panjang berwarna hitam. Rambut panjangnya yang berwarna hitam pekat diikat ke belakang, ekor kuda.
"Apa yang manusia lakukan di sini?" tanyanya dengan suara berat. Ada nada menuntut di setiap kata yang diucapkan olehnya. Menuntut untuk mendapatkan jawaban segera dengan sorot mata tajam yang memakunya tanpa ampun.
Gian mengerjapkan matanya, tenggorokannya tiba-tiba saja terasa kering. "A-aku baru saja mau keluar," jawabnya dengan tergagap. Kakinya kesulitan untuk bergerak meskipun ia sangat ingin kabur. Aura dominan yang pria itu keluarkan dari tubuhnya sangat menyeramkan.
"Bukan itu jawaban dari pertanyaanku, Pup," ujarnya, mengambil satu langkah lebih dekat dengan Gian yang tidak bisa mundur lagi karena punggungnya sudah bertabrakan dengan tembok. "Apa yang manusia lakukan di sini? Apa kau memberikan darahmu untuk para lintah di sini?" tanyanya, masih dengan nada menuntut yang sama tapi di bagian akhir Gian melihat pria itu mengernyit seakan jijik dengan apa yang baru saja diucapkannya.
20/3/21
Revisi 29/7/21Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpelgeist [FIN]
FantasyDaftar Pendek Wattys 2021 [PART LENGKAP] May contain violence. Tumbuh di keluarga yang sangat percaya takhayul membuat Gian tidak pernah percaya pada makhluk tak kasat mata. Baginya, hal-hal seperti itu ditujukan untuk menakutinya, yang sayangnya...