#QOTD drop emoji for this story :)
🌟
"...an, bangun. Gian!" Teriakan itu membuat Gian tersentak dan langsung melihat sekelilingnya. Matanya yang terbuka langsung mawas dan melihat sosok yang ia kenal sedang membukai tirai.
Ibu?
Gian mencubit dirinya setelah memastikan di mana ia berada. Ia tahu betul ini kamarnya. Ranjang dengan seprei berwarna kuning serta gambar bunga matahari kesukaannya yang terpajang persis di seberang tempat tidurnya memperjelas itu semua.
Lemari baju berwarna putih yang berada di dekat pintu kamar serta meja belajarnya yang selalu berantakan juga dapat dilihatnya. Gian dengan panik memegang baju yang dia kenakan, meraga seluruh tubuhnya untuk menemukan tanda-tanda ganjil, namun yang dilihatnya adalah piama bunga mataharinya. Gian yakin yang dikenakannya semalam bukan ini. Ia mengenakan blus sabrina dengan celana jeans.
"Bu, yang gantiin baju aku siapa?" Gian tidak dapat menyembunyikan kegugupannya. Ingatannya tentang Danu semalam bukan sebuah ilusi, dan ia yakin akan hal itu. Ketakutan yang menggigitnya semalam terlalu nyata untuk sebuah mimpi atau bualan.
"Ya, kamu lah. Kamu bukan bayi lagi kan yang harus digantikan bajunya?" jawab ibunya sambil mengambil pakaian kotor yang berserakan di lantai kamar gadis itu. Sepanjang mata memandang, kamarnya memang penuh dengan barang-barang. "Gian, I swear to God, kalau kamu gak mulai bereskan pakaian kotor kamu mulai besok, Ibu bakalan potong uang ja—"
Gian mengabaikan ucapan ibunya itu, "Bu, yang anter aku pulang kemarin siapa?" potongnya, ia terlalu sering mendengar ancaman itu tanpa benar-benar mendapatkannya dan ia tidak terlalu ambil pusing dengan uang jajan saat ia hampir saja dikerjai oleh Danu. Hampir? Atau sudah? Kepalanya terasa mau pecah memikirkan kemungkinan terakhir.
"Kamu lagi melindur, ya? Kamu kemarin kan di rumah seharian."
"Lho, bukannya aku pergi sama Danu kemarin? Aku kemarin nonton dan pergi ke rumahnya lalu...lalu—"
"Kamu segitu cintanya ya sama pacar kamu itu? Sampai ke bawa mimpi." Wanita berambut cokelat terang itu kini sudah berkacak pinggang sambil menatap putrinya yang terlihat panik di ranjang. Matanya menyipit dan melemparkan tatapan penuh curiga padanya. "Kecuali kamu kabur diam-diam dari kamarmu dan pergi dengan Danu, kamu gak keluar rumah sama sekali," ucap ibunya. "Kamu gak kabur kan?" Mata wanita itu menatap dengan tajam ke arah putri semata wayangnya.
Gian menggelengkan kepalanya dengan cepat, ngeri melihat tatapan tajam yang diperlihatkan oleh ibunya. "Good. Kamu bangun dan sarapan sekarang." Ibunya berlalu setelah mengatakannya
Mimpi? Yang kemarin mimpi?
Gian menyingkap selimut dan melihat ke arah dengkulnya yang kemarin terbentur dengan keras karena tarikan Danu di kakinya. Seharusnya dengan benturan sekeras kemarin, ia akan memiliki memarkan? Gian menarik celananya hingga dengkul. Memar itu tidak ada, padahal ia yakin betul yang kemarin terjadi bukan mimpi. Pergelangan tangannya yang kemarin dipegang sangat erat oleh Danu pun tidak menyisakan memar.
Tapi, pertanyaannya sekarang, bagaimana ia pulang? Bagaimana ibunya bisa melupakan Danu yang izin untuk mengajaknya menonton film kemarin? Otaknya berpikir keras, mencoba mencari celah untuk memastikan ingatannya tidak salah.
Film! Potongan tiket seharusnya ada di dompet!
Gian turun dari ranjang dan meraih tas yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Membawanya ke arah ranjang lalu mengeluarkan semua isinya dengan sekali hentakan. Begitu melihat dompetnya, dia melihat slot kartu tempat dia biasa meletakkan potongan tiketnya sebelum dia simpan di folder. Gian memiliki hobi menonton sehingga ia menyimpan semua potongan tiket dari film yang pernah ditontonnya.
Ada!
Bahkan tanggal dan jamnya pun menunjukkan bahwa ia pergi keluar kemarin. Gian juga masih ingat jalan ceritanya. Ingatannya berarti tidak salah. Kemarin ia pergi keluar dengan Danu, kejadian itu pun pasti nyata. Tapi, kenapa ia terbangun tanpa luka dan berada di kamarnya? Lalu, kenapa ibunya mengatakan ia tidak pergi kemarin?
Yang terpenting, apa kemarin terjadi sesuatu setelah gelap menyergapnya? Shit! Umpatnya ketika tidak tahu harus bertanya pada siapa. Bertanya pada si brengsek Danu juga tidak mungkin karena yang ia inginkan sekarang adalah Danu menghilang ditelan bumi. Menjadi makanan para cacing kemudian pupuk bagi pohon-pohon agar hidupnya lebih berarti. Ia menggeram karena pikiran jahatnya sendiri, tapi apa yang dapat diharapkan dari korban pelecehan? Membuka pintu maaf selebar-lebarnya? Rasanya ia akan melempari orang yang mengatakan hal itu di depan mukanya dengan batu.
Apa Ibu terlalu tua, jadi sudah pikun ya?
Gian menggelengkan kepalanya, "Bukan waktunya mikir itu, Gian. Coba sekarang ingat-ingat, lo benaran diperkosa sama si brengsek atau enggak?" Gian melemparkan badannya ke ranjang dengan punggung yang langsung menabrak ranjang itu sambil melebarkan kedua tangannya.
"Taunya gimana tapi? Kalau dari novel-novel, kayak ada yang ganjel atau gak nyaman gitu kan, ya?"
Gian menggerak-gerakkan kakinya, ia mencoba untuk berjalan juga sambil merasakan apakah pangkal pahanya terasa aneh. Ia tidak merasakan aneh sama sekali bahkan tidak merasakan perih seperti cerita-cerita stensil yang sering dibaca oleh Jani.
Nanya Jani?
Gian menggeleng dengan cepat, Jani akan langsung mematahkan leher Danu jika ia mendengar Danu melakukan pelecehan padanya. Bukannya ia membela si brengsek, Gian hanya tidak ingin temannya melakukan tindak kriminal.
Sepertinya, opsi yang tersisa hanya mengonfrontasinya langsung pada Danu besok. Dan semalaman ini akan dihabiskannya dengan memikirkan kejadian pelecehan dan juga hal aneh yang terjadi, mungkin ia akan mendapatkan ilham tengah malam nanti. Atau menjadi kesal sendiri karena tidak dapat memikirkan alasan lain yang masuk akal. Yang terakhir lebih memungkinkan terjadi.
***
Gian berangkat lebih pagi dan begitu tiba di sekolah ia langsung menaruh tasnya dan berlari ke arah kelas Danu. Menunggu cowok itu datang hingga bel sekolah berbunyi tapi hasilnya nihil. Ia memilih untuk mendatangi teman sebangku Danu dan bertanya mengenai keberadaannya."Ben, Danu mana?" tanya Gian pada pemuda yang sibuk menyalin PR dari temannya.
"Eh, Gian. Gak tahu, gak ada kabar. Sakit kali," jawabnya setelah menoleh sesaat kemudian melanjutkan sontekannya. Gian menganggukkan kepala dan memilih tidak mengganggu Beno yang tampak masih sibuk menyalin.
Mungkin dia bisa menunggu lagi sampai besok untuk bertanya langsung pada Danu.
9/1/20
Repub 20/7/20
Revisi 6/7/21Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpelgeist [FIN]
FantasyDaftar Pendek Wattys 2021 [PART LENGKAP] May contain violence. Tumbuh di keluarga yang sangat percaya takhayul membuat Gian tidak pernah percaya pada makhluk tak kasat mata. Baginya, hal-hal seperti itu ditujukan untuk menakutinya, yang sayangnya...