"Cerdas." Pria itu terkekeh lalu mengubah posisi duduknya. Kakinya naik sebelah ke sofa, terlipat di bawah kaki lainnya. Duduk menghadap Gian dengan jarak dekat. "Aku memang tidak perlu berada di dekatnya untuk dapat mendengar dia berbicara. Atau dalam hal ini, suaranya."
Lalu mata Gian terbuka dengan lebar, selebar mulutnya yang ternganga dan hampir menyentuh lantai saat menyadari bagaimana pria itu mendapatkan informasinya. "Kau dapat membaca pikiran?"
Codru memberikan kerlingan mata padanya dengan senyum menggoda. Sedangkan Gian memegang kepalanya dengan kedua tangan, memikirkan apa saja yang selama ini lalu-lalang di pikirannya saat berada di sekitar pria itu.
"Tidak ada yang aneh. Kecuali ketika kau berada di kamarku dan berpikir tubuhku sempurna." Codru tertawa dan Gian merasakan seluruh darahnya berhenti mengalir sehingga wajahnya pias. Hanya perlu waktu satu detik hingga Codru kehilangan tawanya dan ekspresinya kini berubah menjadi gelap. "Masuk ke dalam terowongan itu, Little One. Waktu kita tidak banyak."
Codru menariknya hingga berdiri lalu berjalan dengan cepat menuju lorong tadi. "A-ada apa?" Gian mencoba menarik tangannya, namun gagal.
"Ada alarm tanda bahaya yang dibunyikan." Rahang Codru mengeras, tubuhnya menjadi siaga dengan mata yang tidak berhenti melihat sekeliling mereka. Terutama di jendela dan juga pintu. Gian sama sekali tidak mendengar apa pun. Ia tidak mendengar selain suara mereka berdua. "Little One, kita benar-benar tidak punya waktu untuk seluruh pertanyaan yang kau miliki sekarang. Masuk ke dalam dan berhati-hati."
Gian tidak dapat berbicara karena Codru sudah mendorong tubuhnya dengan pelan, memasuki pintu lorong sebelum mencekal tangannya dengan pelan. Meraih sesuatu dari dalam kantong celananya, "Tusuk siapa pun yang kau lihat di jalan jika bukan aku atau Serghei. Tidak juga Abel atau pun Marius. Siapa pun."
Tangan Gian kini sudah memegang belati yang terlihat sudah tua. Dengan pegangan yang memiliki ukiran-ukiran dan kedua mata belatinya sangat tajam. Belati itu lebih berat dari yang dipikirkannya. "Letakkan di balik jaketmu." Codru menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, "Aku seharusnya mengajarimu satu atau dua hal mengenai bela diri," kesahnya dalam. Wajahnya dipenuhi dengan kekalutan.
Sayup-sayup Gian mulai mendengar derap langkah yang sangat banyak dan suara-suara dari para kesatria yang berteriak dari dalam dan luar kastil. Tangannya terasa dingin dan tanpa disadarinya keringat dingin mengaliri dahinya. Jantungnya terpompa dengan sangat kencang dan kepanikan mulai terasa saat Codru mendorong tubuhnya bersamaan dengan memberikan senter yang tidak tahu kapan diambil oleh Codru. Dengan segera pria itu menutup pintu lorong hingga kegelapan memeluknya. Keheningan terasa menakutkan setelah teriakan yang ia dengar tadi. Dingin yang menusuk tulangnya pun terasa jauh lebih mengerikan sekarang.
Semuanya terasa seperti mimpinya dulu. Dan segala ketakutannya seakan merayap dari kegelapan ujung lorong. Membuatnya meringkuk di dekat pintu. Dengan lutut berada dekat dengan dadanya sehingga ia dapat memeluk tubuhnya yang bergetar hebat.
Gian berdiam di pojok hingga gemetar tubuhnya mereda. Tangannya kini sudah tidak mengelilingi lutu yang menempel di dagunya, melainkan menutupi telinga. Karena, kesunyian yang diharapkan kini terasa terlalu bising di kepalanya.
Matanya terbuka perlahan, tetapi tidak menemukan perbedaan karena cahaya di ujung lorong pun tidak dapat memasuki tempatnya berdiri sekarang. Tangan kananya meraba-raba untuk menemukan senter yang terjatuh saat ia ketakutan tadi. Permukaan tanah yang tidak rata serta berdebu membuatnya kesusahan hingga ujung jemarinya menemukan permukaan yang dingin dan berbentuk seperti tabung.
Gian menyalakan senter tersebut dan melihat ke pintu yang tadi tertutup. "Kalau bisa dibuka dari luar, seharusnya bisa juga kan dari sini?" bisiknya sembari terus meraba dengan kedua tangan. Senter berada di dalam mulutnya. Tangannya menyentuh seluruh permukaan yang datar tapi tidak dapat menemukan apa pun. Hingga ia mencoba meraba di sekitar pintu." Kalau di film-film kayak tombol yang ditekan gitu kan?"
Gian mengerang setelah selesai meraba dan menekan segala sisi dan tidak menemukan apa pun. "Film bodoh," gerutunya. "Lebih bego gue yang ikutin film sih," imbuhnya tidak lama.
Mau tidak mau Gian berjalan mengikuti lorong meskipun kakinya gemetar. Ia menurun anak tangga dengan berhati-hati sebelum mulai berjalan. Rasanya, dibandingkan mengikuti jalan ini, ia lebih ingin meringkuk di tempatnya semula entah sampai kapan. Ia Tidak tahu tahu Sudah berapa banyak waktu yang berlalu hingga ia melihat tembok batu dengan satu lampu dinding berwarna tembaga.
Instingnya menuntut Gian untuk berjalan ke lampu itu, menggoyangkannya ke kiri dan ke kanan. Ia menggigit bibir bagian bawahnya karena tidak mendapatkan reaksi apa pun dari tembok itu. Kembali ia menggerakkannya ke bawah dan terakhir ke atas hingga terdengar suara kencang sebelum tembok itu bergerak terbuka ke bagian luar. Gian mengesah karena lagi-lagi ia menemukan jalanan berbatu dengan tangga di bagian ujungnya.
Di sisi lain tangga, bagian atasnya, terdapat pintu yang terbuat dari besi tetapi masih dapat dibukanya dan digeser sehingga ia menemukan jalan keluar. Gian keluar dari lorong dan melihat sekelilingnya. Rumah yang tadi sudah tidak terlihat, tetapi ia dapat mengikuti jalanan ini agar dapat menemukan rumah itu kembali
Gian berjalan berlawanan dari yang diperintahkan oleh Codru. Tidak peduli apa yang dikatakan oleh pria itu, namun ia tidak mau membawa hal buruk pada orang lain dan membahayakan nyawa mereka.
27/4/21
Revisi 29/7/21
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :)
Btw cerita Serghei dan Abel bisa dicek di judul Tattletale :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpelgeist [FIN]
FantasyDaftar Pendek Wattys 2021 [PART LENGKAP] May contain violence. Tumbuh di keluarga yang sangat percaya takhayul membuat Gian tidak pernah percaya pada makhluk tak kasat mata. Baginya, hal-hal seperti itu ditujukan untuk menakutinya, yang sayangnya...