New Place

3.5K 740 59
                                    

#QOTD kamu tipe pacar yang talkative atau pemalu?

🌟

"Bangun, Princess. Kita sudah sampai di apartemenmu."

Goyangan pada tangannya membuat Gian kembali ke dunia nyata. Matanya berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang terang meskipun ia yakin ini sudah menjelang malam. Matahari memang turun lebih lambat di musim ini.

Gian bahkan tidak tahu kapan ia tertidur. Yang ia ingat hanyalah jalanan yang kosong serta ladang luas berwarna mustard dan brick khas musim gugur. Mobil yang dikendarai oleh Abel melaju dengan mulus dan Gian yang berusaha terjaga sepanjang penerbangan diserang kantuk dan kini ia terbangun di depan bangunan tua dengan cat berwarna krem.

Bangunannya tidak tinggi, hanya tiga lantai dan setiap jendela besar yang dibingkai batu-batu berwarna gelap. Di sebelahnya juga terdapat bangunan serupa tapi berbeda warna yang membuat Gian terpukau, selama ini ia tinggal di tempat yang dikelilingi beton tinggi, terasa dingin dan sibuk dengan hiruk pikuknya. Dan sekarang ia akan menghabiskan beberapa tahun di sini hingga kembali ke bisingnya ibu kota.

"Jadi, kau mau turun atau tidak?" Pertanyaan Abel yang membuat Gian menoleh ke arahnya.

"Ha? Oh, iya." Gian tersenyum dan dapat merasakan wajahnya panas karena malu tertangkap basah ketika sedang melihat sesuatu yang ia yakini normal di sini.

Gian turun dari mobil dan membuka bagasi lalu mengeluarkan kopernya dengan Abel yang berdiri dengan tangan terlipat di dada. "Kamarmu di lantai tiga, jendela yang di ujung." Abel menunjuk pada jendela ketiga dengan jari telunjuk kanannya lalu menyerahkan kunci pada Gian.

"Okay, terima kasih dan maaf tadi tertidur." Gian merasa tidak enak hati. Ia tidak berniat ketiduran sepanjang perjalanan, tetapi tubuhnya terasa sangat lelah dan kakinya yang dapat di luruskan di mobil wanita itu membuatnya rileks dan tahu-tahu matanya sudah terpejam.

"Nah, aku sudah terbiasa diperlakukan seperti sopir," sindirnya lagi. "Aku enggak bisa bantu bawa kopermu ke atas karena sudah ada janji. Dan itu apartemenmu sendiri, satu kamar."

"Aku bisa bawa, tinggal geret kopernya saja. Eh, bukannya aku tinggal dengan yang lainnya juga?" Setahunya, Gian akan tinggal dengan mahasiswa lain. Setidaknya dua orang lainnya. Gian ingat betul hal ini karena ia membacanya berulang kali.

Abel terlihat mendengkus dan terlihat geli saat memandang kopernya. "Yeah, right, tinggal geret. Ada perubahan di bagian apartemen karena teman sekamarmu tidak ada. Anyway, aku pergi dulu. Bye!"

"Terima kasih!" Sekali lagi Gian mengucapkan terima kasih. Ia menunggu Abel memasuki mobil dan menghilang di belokan. "Okay, beresin isi koper lalu telepon Ibu karena beliau pasti sudah freak out sekarang, semoga internetnya tidak bermasalah karena gue belum punya nomor sini." Gian menggeret kopernya memasuki gedung kemudian terdiam dan menyadari kenapa Abel terlihat geli ketika menatap kopernya.

Gian menghela napas panjang melihat tangga yang akan membawanya ke lantai tiga alih-alih lift. "Bagus. Sekarang bagaimana caranya gue bawa koper segede gaban ini ke lantai tiga tanpa mematahkan pinggang?" Ia merasa nelangsa pada diri sendiri sambil memandangi koper besarnya.

Butuh usaha keras dengan tarikan, dorongan agar tiba di lantai tiga dan berdiri di depan pintu unitnya. Pinggangnya terasa sakit, oh, bukan hanya pinggang, tapi juga tangan dan kakinya. Jangan lupakan kopernya yang jatuh beberapa kali ketika sudah hampir tiba di lantai lain dan berakhir rusak di roda.

"Hari pertama yang amat sangat baik," keluhnya lalu membuka pintu apartemen kemudian rasa lelahnya hilang seketika.

Apartemen yang ia tinggali memiliki tembok berwarna putih dengan lantai kayu yang terasa hangat di kaki telanjangnya.

Dua jendela besar yang memungkinkan banyak sinar matahari masuk karena hanya tertutup tirai tipis berwarna krem. Di sebelah kiri terdapat dua buah sofa, satu single sofa dan yang lainnya two seater sofa yang keduanya berwarna abu-abu tua. Terdapat rak kecil tempat TV yang juga berukuran kecil dan lampu gantung yang terlihat tua di atas sofa itu.

Di sisi lainnya terdapat meja kotak dengan dua kursi. Di dekat pintu masuk terdapat dapur, kakinya melangkah ke sana untuk melihat apakah ia perlu membeli peralatan agar dapat memasak nantinya. Tangan Gian membuka kabinet-kabinet dan menemukan semua hal yang ia perlukan sudah berada di sana, bahkan sudah ada rice cooker. Kemudian ia membuka kulkas dan terkejut ketika mendapati sudah terisi bahan makanan.

Apa memang semuanya sudah disiapkan ya?

Gian berdecak saat melihat koper besarnya yang terisi oleh rice cooker yang sengaja ia bawa dari Indonesia agar dapat masak nasi dengan mudah.

Ngapain gue berat-berat bawa rice cooker kalau gitu?! 



Wkwkwkwkw sapeee yang kalau jalan bawa rice cooker ngacunggggggg

20/9/20
Revisi 7/7/21

Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :) 

 Thank you :) 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rumpelgeist [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang