4

12.5K 1.2K 42
                                    

Di dalam pesawat mereka bertiga duduk terpisah, ini semua ulah Silvia. Ia sengaja memesan tiket yang berbeda untuk Feby.

Tama terus melirik ke arah kursi belakang, tempat Feby duduk. Silvia tidak senang memperhatikan gelagat Tama.

"Dia sudah besar, Tam. Nggak perlu kamu perhatian sampai segitunya." Silvia mencebik kesal melihat ulah Tama.

"Biasanya kalau turbulensi gini dia panik."

Tama menjelaskan sambil sesekali melirik ke belakang, ia khawatir dengan keadaan Feby. Biasanya kalau mereka berpergian dan terjadi turbulensi, ia akan memeluk Feby untuk menenangkannya.

"Tam, kamu nggak ngerasa terlalu berlebihan memperlakukan dia?" Silvia sudah tak tahan lagi, ia merasa muak dengan kelakuan Tama.

"Berlebihan gimana maksud kamu?" Tama heran melihat Silvia yang biasanya lemah lembut berubah menjadi sinis.

"Dia cuma adik tiri kamu, Tam."

Tama kaget mendengar penuturan Silvia. Ia merasa sangat marah kalau ada yang berkata seperti itu padanya. Baginya Feby bukan sekedar saudara tiri.

"Sil, aku kasih tau kamu, ya! Bagiku dia bukan sekedar adik tiri. Orang tuanya udah berjasa buat aku. Mereka bahkan nggak pernah menganggap aku sebagai anak pungut."

"Tapi mereka 'kan udah nggak ada, Tam?"

"Justru itu, aku merasa bertanggung jawab pada Feby. Aku mendapat amanah dari ayahnya. Feby hanya punya aku di dunia ini."

Ibu Feby memang sudah meninggal dunia saat melahirkan Feby. Saat Feby kelas 6 SD sang ayah menyusul ibunya. Saat itu Tama baru kuliah semester empat.

"Tapi, Tam. Sampai kapan dia akan jadi beban kamu?"

"Beban?" Tama semakin tersulut emosi mendengar pertanyaan Silvia.

"Iya, kalau kita berkeluarga nanti."

Tama menatap Silvia remeh. Silvia belum tau saja, Tama menerima cintanya karena bujukan Feby. Sebenarnya ia tak berniat berpacaran dengan siapapun, apalagi menikah.

Saat itu Silvia gencar mendekatinya, bahkan sampai menemuinya ke rumah saat ia sedang sakit. Saat itu Feby melihat gelagatnya, ia menasehati Tama supaya menerima cinta Silvia.

Awalnya Tama merasa enggan, karena ia tak memiliki perasaan apapun pada Silvia. Tapi karena Feby yang memintanya, maka ia mengabulkan. Ia menerima cinta Silvia.

"Asal kamu tau, Sil. Aku nggak pernah menganggap dia sebagai beban. Walaupun aku menikah nanti, aku nggak akan berhenti mengkhawatirkan dia."

"Tapi, Tam ...."

"Sekalian aku perjelas, kalau kamu memang nggak bisa nerima dia, kita putus aja sampai di sini."

Silvia kaget mendengar keputusan Tama yang semena-mena. Ia merasa telah salah strategi.

"Tam!"

"Aku nggak bisa bersama wanita yang nggak sayang sama adikku."

Tama membuang pandangannya ke luar jendela. Terlalu malas melihat wajah Silvia. Wajah Silvia memucat, ia tak menyangka perjalanan liburan ini akan berakhir seperti ini. Mereka bahkan belum sampai tujuan wisata.

"Tam, maafin aku. Aku nggak bermaksud begitu, aku ...." Silvia berinisiatif meminta maaf, ia menyentuh lengan Tama.

"Sebaiknya kita pikirkan lagi tentang hubungan kita, Sil." Tama menurunkan tangan Silvia. Ia tak mau disentuh oleh gadis itu.

"Enggak, Tam. Pokoknya aku nggak mau kita putus."

"Aku nggak mau kamu merasa nggak nyaman dengan hubungan kita." Terang Tama, ia sudah bulat dengan keputusannya.

"Oke, aku minta maaf. Aku nggak akan kayak gitu lagi. Mulai sekarang aku akan mencoba memahami hubungan kalian." Janji Silvia.

Tama bergeming, ia tak mengindahkan ucapan Silvia. Ia sudah terlanjur kecewa kepada Silvia.

My Abang, My Crush (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang