6

13K 1.1K 32
                                        

Sepulangnya dari Bali, Feby segera menginterogasi Tama. Ia merasa tidak enak karena telah menjadi penyebab keretakan hubungan abangnya.

"Mas, kamu sama mbak Silvia putus?"

Tama kaget mendengar pertanyaan adiknya, ia tak tau harus menjawab apa. Sialan Silvia! Pasti perempuan itu sudah menceritakan semuanya pada Feby, pikirnya.

"Dia cerita sama kamu?"

Feby mengabaikan pertanyaan Tama, ia fokus pada tujuannya mengorek informasi dari Tama.

"Kalian putus kenapa, Mas?"

"Biasa, masalah prinsip."

Tama meminum kopi miliknya, mencoba bersikap sesantai mungkin. Ia tak mau membuat Feby curiga padanya.

"Bukan karena aku 'kan?"

"Kamu ngomong apa, Dek? Ya bukanlah."

"Mas, ini ketiga kalinya kamu putus lho. Kamu mau jadi playboy? Inget, Mas. Kamu punya adik cewek. Kamu nggak takut kena karma?"

Feby mengingat ini sudah kesekian kalinya kakaknya putus dengan cewek tanpa alasan yang jelas, hubungan mereka bahkan tak pernah bertahan sampai satu tahun.

"Dek, aku nggak ada niatan jadi playboy. Kenyataannya kami udah nggak cocok, mau diapain lagi?"

"Benar, karena itu?" Feby menatap curiga pada abangnya.

"Iya, percaya sama aku." Tama berusaha meyakinkan.

"Ya udah."

Feby merasa sia-sia mengorek keterangan dari Tama. Abangnya itu memang selalu tertutup jika menyangkut masalah percintaannya.

"Dek, habis lulus kamu mau ngambil kuliah di universitas mana?" Tama mengalihkan pembicaraan.

"Kayaknya aku nggak mau kuliah dulu deh, Mas." Feby menjawab kurang antusias. Ia tak mau menambah beban Tama. Pasti butuh uang yang tak sedikit untuk membiayai kuliahnya.

"Lho, kenapa, Dek?" Tama kaget mendengar jawaban Feby. Ia menelisik dalam-dalam wajah adiknya itu.

"Aku pingin kerja dulu, Mas. Ngumpulin biaya."

"Ya Allah, Dek. Kenapa kamu mikir hal yang kayak gitu. Itu udah tanggungan aku. Tugas kamu itu cuma belajar."

"Tapi, Mas ...."

"Jangan khawatir. Aku udah siapin tabungan khusus buat kuliah kamu."

Tama memang sudah berkerja keras selama ini. Ia hanya menggunakan gajinya seperlunya saja, ia tak pernah berfoya-foya. Semua itu agar ia bisa menabung untuk keperluan Feby kuliah, bahkan biaya untuk Feby menikah nanti.

Ah, ya. Entah mengapa memikirkan suatu saat adiknya itu pasti akan menikah dan pergi bersama suaminya, membuat sesuatu di dalam dirinya merasa kosong.

"Nggak usah, Mas. Pakai aja tabungan itu buat biaya pernikahan kamu nanti." Feby berujar pelan. Ia menangkup tangan kakaknya. Ia tahu selama ini ia sudah cukup merepotkan Tama. Abangnya itu sudah bekerja keras dari jaman masih kuliah.

Selain untuk biaya kuliahnya, Tama harus bekerja keras untuk biaya hidup mereka berdua. Bahkan Tama hanya sempat tidur beberapa jam saja dalam sehari karena ia mengambil beberapa pekerjaan sekaligus.

Pagi di salon cuci mobil, sore di kafe, malamnya masih harus kuliah. Tak jarang ia sampai sakit karena kelelahan. Semua itu untuk memastikan agar Feby tak kekurangan suatu apapun.

Setelah lulus kuliah Tama segera mendapat pekerjaan yang bagus, saat itu kehidupan mereka perlahan mulai membaik.

Feby tak bisa membayangkan jika suatu saat abangnya itu menikah dan punya kehidupannya sendiri. Lalu bagaimana dengan dirinya? Ia terbiasa bergantung pada Tama.

"Itu masih lama banget, Dek. Aku nggak akan nikah sebelum hidup kamu seatle."

Sejujurnya Tama merasa kalau mungkin dirinya tak akan pernah menikah. Ia tak mau wanita yang menjadi istrinya kelak menghalanginya untuk memperhatikan Feby. Baginya Feby lebih penting daripada wanita manapun.

"Ya jangan gitu, Mas. Aku nggak enak jadi beban terus."

"Beban apa? Aku nggak pernah nganggap kamu sebagai beban." Tama tak suka mendengar kata-kata Feby barusan.

"Mas, aku mau tinggal sendiri."

Feby sudah membulatkan tekad, ia harus pergi. Ia tak mau menjadi benalu bagi abangnya seumur hidupnya.

"Dek, kamu jangan becanda, ya?" Tama tidak senang dengan sikap Feby yang keras kepala.

"Aku serius, Mas. Aku pingin mandiri."

"Tapi nggak usah sampai tinggal sendiri juga, Dek."

"Lagian kayaknya nggak pantes, Mas. Kita saudara tiri tinggal berdua seperti ini. Ibuk bapak juga udah nggak ada, lalu ...."

Tama tertegun mendengar penuturan Feby. Hatinya merasa sakit, jadi selama ini ia hanya dianggap sebagai saudara tiri saja?

"Jadi selama ini kamu cuma nganggap aku sebagai saudara tiri?"

Melihat ekspresi kakaknya yang berubah sendu, Feby jadi merasa bersalah. Ia bermaksud meralat kata-katanya.

"Mas, aku ...."

"Tetep nggak aku ijinin." Putus Tama, tidak bisa diganggu gugat.

"Aku akan tetap keluar dari sini dengan atau tanpa ijin dari Mas."

"Dek ...."

My Abang, My Crush (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang