7

12.1K 1.1K 23
                                        

Tama baru pulang dari kantor, hari ini ia lembur. Rumah dalam keadaan gelap gulita, ia jadi bertanya-tanya, ke mana Feby? Bukannya ujian sudah selesai, tak mungkin adiknya itu ada kegiatan belajar kelompok lagi.

Tama menyalakan lampu dapur, pandangannya tertuju pada notes yang tertempel di dinding kulkas.

"Mas, aku sekarang udah di rumah susun. Maaf aku nggak pamit sama Mas. Karena aku tau, kalau aku pamit pasti Mas nggak akan ngijinin. Mas harus jaga kesehatan. Mas juga nggak usah khawatir, aku akan sering ngasih kabar. Feby."

Tama meremas kasar kertas itu, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi Feby.

"Kamu di mana, Dek? Aku jemput!"

"Mas, aku nggak mau pulang ...."

"Dek, share lokasinya sekarang! Aku mau ke sana."

"Tapi, Mas ...."

***

Tama segera menstarter motornya dan pergi menuju alamat yang diberikan Feby. Ia bahkan tak sempat berganti pakaian. Adiknya yang mulai bandel itu sungguh menguras kesabarannya.

Ia menghentikan motornya di depan sebuah flat sederhana. Ia tak habis pikir dari mana adiknya mendapat rekomendasi untuk tinggal di tempat sederhana seperti ini.

Ia segera menuju kamar yang dihuni Feby. Ia merasa sangat marah, langkahnya lebar. Ia menaiki tangga dengan tergesa-gesa.

"Mas?"

Feby membukakan pintu untuknya. Ia segera menerobos masuk. Segera menuju lemari dan mengambil baju-baju Feby.

"Mana koper kamu?"

"Mas, udah aku bilang aku nggak mau pulang." Feby merebut bajunya dan segera memasukkannya kembali ke lemari.

"Feb, jangan ngelawan!"

Feby merasa abangnya itu benar-benar marah. Kalau ia sudah memanggilnya dengan nama, artinya Tama benar-benar marah. Biasanya Tama akan memanggilnya dengan sebutan 'dek'.

"Mas, tolong kasih kepercayaan ke aku. Aku udah gede. Aku pingin belajar mandiri. Aku janji aku akan menghubungi kamu kalau aku perlu sesuatu. Kamu juga boleh sering-sering mengunjungi aku." Feby mencoba membujuk kakaknya itu.

"Tapi, Dek ...."

"Mas, aku mohon. Kalau memang aku ngerasa nggak sanggup hidup mandiri, aku janji, aku akan pulang."

"Janji?"

"Iya."

Tama menghela nafas berat. Baru kali ini adiknya membangkang padanya. Selama ini adiknya itu selalu menjadi adik yang manis dan penurut.

"Mas, mau aku bikinin kopi?" Feby mengalihkan pembicaraan.

"Boleh."

Feby beranjak menuju sebuah dapur minimalis, Tama mengikutinya. Ia memperhatikan sekitarnya. Semua peralatan di sana masih baru. Kapan Feby membelinya?

"Rupanya kamu udah merencanakan jauh-jauh hari, ya?"

Feby menoleh, ia kaget karena Tama sudah berada di belakangnya.

"Tadi Nita yang bantuin aku belanja, Mas."

"Dia yang merekomendasikan tempat ini?"

"Iya."

"Dek, kalau kamu mau, aku bisa carikan tempat yang lebih baik dari tempat ini, di sini bahkan nggak ada AC."

"Nggak usah, Mas. Tempat ini udah cukup kok." Feby menolak usul Tama.

"Mau kamu apa sih, Dek? Bukannya kuliah yang bener malah kabur-kaburan kayak gini."

"Aku mau nyari kerjaan, Mas."

Tama kaget mendengar perkataan Feby. Lagi-lagi adiknya itu memberi kejutan yang tidak menyenangkan untuknya.

"Buat apa, Dek? Nggak usah. Kamu tinggal sendiri aja aku udah khawatir, apalagi ditambah kerja segala. Kamu mau bikin aku kepikiran?"

Feby yang sudah selesai membuat kopi berjalan menuju ruang tamu, Tama mengikutinya dari belakang.

"Sebenarnya aku udah dapat, Mas."

"Di mana?"

"Di kafe es krim depan bioskop itu lho. Besok aku interview, doakan berhasil, ya?"

"Nggak akan aku doakan!" Tama berucap kesal, sambil membanting tubuhnya ke sofa sederhana yang ada di ruang tamu itu.

"Ih, Mas kok jahat, sih?" Feby merajuk sambil menghentakkan kaki.

"Kalau kamu mau tinggal sendiri oke, aku akan tetep transfer kamu. Nggak usah aneh-aneh pakai kerja segala."

"Tapi, Mas ...."

"Kalau kamu kecapekan, terus asma kamu kambuh, gimana?"

"Ya Mas jemput aku."

"Dek, kamu kenapa, sih? Akhir-akhir ini kok jadi suka ngelawan?"

My Abang, My Crush (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang