"Siapa yang nelpon gue?" Leon kaget karena meliahat ada Tama di ruangan itu. Ia mengira Tama adalah pacar Feby.
Tama memandang datar ke arah Feby dan Leon. Suasana menjadi sangat canggung.
"Sory, tadi gue numpang ke toilet bentar."
Tama mengabaikan perkataan Leon, ia malah menatap tajam ke arah Feby.
"Nggak ada yang perlu dijelasin, Dek?"
Feby menunduk, tak tau harus bicara apa. Ia melihat ekspresi kekecewaan dari sorot mata abangnya.
"Feb, gue pulang dulu, ya. Makasih makanannya." Leon buru-buru kabur melewati Tama.
"Mas, tadi dia cuma ...."
"Kamu udah sering bohongin aku kayak gini?" selidik Tama.
"Mas aku tadi cuma takut kamu salah paham karena liat dia di sini."
"Kamu udah sering masukin cowok ke kamar?" Tama berusaha merendahkan suaranya.
"Enggak, Mas. Dia baru satu kali ke sini." Feby berusaha menjelaskan keadaan yang sesungguhnya.
"Aku nggak percaya sama kamu, tadi kamu udah bohong."
"Mas, aku ...."
"Kemasi barang kamu, Dek. Balik ke rumah sekarang." Perintah Tama tegas, kali ini dia tak mau dibantah.
"Mas, aku nggak mau."
Tama kesal mendengar penolakan Feby. Ia merasa adiknya itu sudah banyak berubah, yang tadinya penurut menjadi pembangkang.
"Aku nggak mau kamu jadi gadis binal, seenaknya aja masukin cowok ke kamar. Aku nggak mau kamu terlibat pergaulan bebas."
"Mas, aku nggak kayak gitu."
"Kamu sekarang udah pinter bohong. Mulai saat ini aku nggak akan ngasih kamu kepercayaan lagi."
Tama beranjak ke kamar Feby. Ia memasukkan pakaian Feby ke dalam koper.
"Mas, udah aku bilang aku nggak mau balik ke rumah. Kenapa Mas nggak ngerti-ngerti, sih?"
Tama mengabaikan ucapan Feby, ia masih sibuk memasukkan pakaian Feby ke koper. Melihat itu Febby menjadi semakin kesal.
"Mas! Jangan ikut campur urusan aku. Aku udah gede. Mas nggak usah ngatur-ngatur aku lagi."
Tama tertegun mendengar ucapan Feby. Ia tersenyum getir.
"Kamu lupa? Aku dapat amanah dari ayah buat jagain kamu?"
"Aku nggak peduli. Pokoknya mulai sekarang aku mau bebas. Aku nggak suka kamu larang-larang lagi." Feby semakin berani menentang Tama.
"Kamu udah berubah, Dek. Apa cowok itu yang udah mempengaruhi kamu?"
"Udah aku bilang aku nggak kayak gitu. Terserah Mas mau percaya apa nggak." Feby kesal karena ia sudah menjelaskan dari tadi, tapi Tama tetap tak mempercayainya.
"Ayo pulang, Dek. Nurut sama aku." Tama masih berusaha membujuk Feby, ia memegang kedua pundak Feby.
"Nggak, aku nggak mau." Feby menyentak kasar tangan Tama hingga terlepas.
"Pulang atau aku paksa?" Tama sudah hilang kesabaran menghadapi tingkah adiknya ini.
"Terserah, pokoknya aku nggak mau pulang. Aku benci sama Mas yang selalu ngatur hidupku."
Tama membeku mendengar perkataan Feby. Adiknya itu membencinya?
"Kamu benci sama aku?"
"Iya, aku benci."
Tama masih menunggu Feby meralat ucapannya, tapi sepertinya gadis itu serius dengan kata-katanya.
"Oke, mulai sekarang kamu bebas hidup sesuai kemauan kamu. Aku nggak akan ganggu lagi. Kamu bebas lakukan apa aja. Tapi satu yang perlu kamu tau, aku begini karena aku sayang sama kamu. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu."
"Aku sadar kamu hanya menganggap aku sebagai kakak tiri. Kakak tiri yang nggak ada apa-apanya."
"Aku pergi, jaga diri kamu baik-baik. Jangan sampai sakit."
Tama meninggalkan kamar Feby dengan hati yang hancur. Ia tak menyangka adiknya yang ia rawat sejak kecil tega melawannya seperti ini.
Setelah kepergian abangnya, Feby jadi merasa bersalah. Ia sadar tadi sudah bertindak keterlaluan.
Ia berniat mengejar Tama ke parkiran. Tapi sayang, Tama sudah pergi. Feby menangis seorang diri di parkiran.
Leon yang kebetulan akan keluar bersama teman-temannya melihat Feby menangis seorang diri. Ia berinisiatif untuk menghampiri gadis itu.
"Feb, lo nggak papa?"
"Diam, ini semua gara-gara kamu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomanceMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.