Feby heran melihat kakaknya yang ketika berangkat terlihat mesra dengan kekasihnya, ketika turun dari pesawat malah seperti orang bermusuhan.
Ingin ia menanyakan kepada kakaknya itu, tapi ia merasa takut dianggap terlalu ikut campur.
"Mas, mukamu kenapa?"
"Aku capek aja, Dek. Oh ya, waktu turbulensi tadi kamu panik, nggak?" Tama berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Enggak dong, aku sekarang udah kuat. Pokoknya kamu sekarang nggak usah terlalu khawatir sama aku."
Feby berbohong, sebenarnya ia tadi agak panik. Untung saja asmanya tidak sampai kambuh, ia hanya tak mau membuat Tama khawatir padanya.
"Syukurlah kalau gitu."
Tama mengacak rambut Feby gemas. Silvia datang menghampiri. Ia merasa jengah dengan kedekatan kedua saudara tiri itu.
"Tam, aku udah dapat taksi. Kita ke hotel sekarang, ya?"
"Oke."
Tama menjawab datar ucapan Silvia, membuat Feby semakin bertanya-tanya. Apalagi dilihatnya wajah Silvia yang berubah sendu.
***
Sejak sampai di hotel, Tama selalu mengabaikan Silvia. Ia hanya perhatian pada adiknya saja. Begitupun di tempat wisata, Tama tampak enggan berdekatan dengan Silvia. Ia selalu saja menempel pada Feby.
Saat Feby menyuruhnya foto berdua dengan Silvia ia terlihat ogah-ogahan. Membuat Feby semakin yakin kalau ada yang sesuatu yang salah.
Saat berdua di kamar dengan Silvia ia memberanikan diri bertanya. Ia bertanya dengan hati-hati, takut Silvia tersinggung dan menganggapnya terlalu ikut campur.
"Mbak, ada masalah sama Mas Tama?"
Silvia menghentikan kegiatannya menata koper. Ia menatap datar ke arah Feby. Membuat bulu kuduk Feby berdiri.
"Kamu beneran pingin tau?"
"Em, iya. Kalau boleh. Aku nggak bermaksud ikut campur, aku cuma ...."
"Kayaknya sepulang dari sini kami akan putus." Potong Silvia.
Feby kaget mendengar ucapan Silvia. Kenapa tiba-tiba sekali? Bukannya berangkat tadi mereka masih baik-baik saja?
"Hah? Putus? Ta-tapi kenapa, Mbak?"
"Bener kamu nggak tau?"
Silvia menatap sinis ke arah Feby. Ia membanting baju yang baru saja dikeluarkannya dari koper ke atas tempat tidur.
Feby kaget melihat perubahan sikap Silvia, yang biasanya lemah lembut tapi sekarang berubah menjadi temperamen.
"Tau apa, Mbak?"
"Tama mutusin aku karena kamu." Silvia berujar dingin.
Feby kaget mendengar penuturan Silvia, kenapa karena dia? Dia tak merasa melakukan apapun.
"A-aku?"
"Feb, kamu sayang sama Tama?" Silvia bertanya datar, mengabaikan kebingungan Feby.
"Sayang, Mbak. Tapi aku ...."
"Kalau kamu sayang sama dia kamu jauhi dia, Feb. Dia nggak akan bahagia dengan kekasihnya kalau masih ada kamu."
Silvia berkata datar, tak ada emosi apapun di wajahnya. Membuat Feby semakin takut padanya.
"Maksudnya?"
"Nggak hanya aku, Feb. Siapapun kekasih Tama nantinya, pasti tidak akan bisa mentolerir kedekatan kalian. Demi Tuhan, kalian itu cuma saudara tiri. Tapi kalian ...."
Feby mulai bisa menangkap arah pembicaraan Silvia, sepertinya kekasih kakaknya itu sedang dilanda cemburu.
"Mbak, aku nggak bermaksud ...."
"Bagi dia prioritas hidupnya itu cuma bahagiain kamu. Apa-apa kamu. Aku curiga sebenarnya kalian itu berhubungan!" potong Silvia.
"Mbak jangan salah paham, kami cuma ...."
"Kalian cuma saudara diri, tapi kalian tinggal serumah tanpa orang tua. Jangan-jangan kalian ... Ah, sudahlah." cibir Silvia. Feby membeku mendengar tuduhan Silvia.
"Lihat saja nanti. Setelah putus dari aku tidak akan ada wanita yang betah menjadi kekasih kakakmu itu."
Silvia mengambil bajunya yang tadi ia banting ke kasur, ia beranjak masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya kencang. Feby terlonjak. Ia merenungkan ucapan Silvia.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomansaMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.