37

6.8K 588 3
                                    

Leon segera menyusul Feby ke rumah sakit. Ia sudah meminta Andin untuk mengiriminya alamat rumah sakit tempat Tama dirawat.

Sebelum menyalakan mobilnya, ia sempat melirik bungkusan kado yang tergeletak di jok mobil.

Leon mengambil kado mungil berwarna pink itu. Ia penasaran dengan isinya. Tapi ia mengurungkan niatnya, saat ini ia sedang buru-buru ke rumah sakit.

***

Sesampainya di rumah sakit, Leon segera mencari Feby di UGD. Kosong, rupanya Tama sudah dipindahkan ke kamar lain.

Leon melihat Feby duduk seorang diri di depan kamar Tama, ia segera menghampiri gadis itu.

"Feb?"

"Mas Leon. Ya Allah, aku sampai lupa nggak pamit sama kamu. Maaf ya, Mas?"

"Nggak papa. Aku cuma khawatir, karena kamu tiba-tiba ngilang."

"Aduh, maaf banget. Aku tadi keburu panik, jadi nggak sempat mikir yang lain. Terus kalau kamu di sini pesta kamu gimana, Mas?"

"Pestanya udah selesai, lagian pesta itu jadi nggak berarti apa-apa tanpa kehadiran kamu."

"Ih, lebay. Tapi serius aku minta maaf banget loh. Aku udah ngerusak pesta kamu, ya?" Feby bertanya dengan nada penuh penyesalan.

"Nggak mau tau, pokoknya kamu harus tanggung jawab." Leon memanfaatkan rasa bersalah Feby untuk menggodanya.

"Tanggung jawab kayak gimana, Mas?" Feby bertanya polos.

"Gantiin pesta aku."

"Hah? Gimana, gimana?" Feby gusar mendengar permintaan Leon. Mengganti pesta sebesar itu? Darimana uangnya? Menjual kedua ginjalnya juga tak akan cukup.

"Nanti kita bikin pesta ulang, ya? Berdua aja." Leon mengedipkan sebelah matanya, sempat-sempatnya di rumah sakit begini. Memang fakboi tulen.

"Oh, oke." Feby hanya pasrah dan mengiyakan permintaan Leon.

"Gimana keadaan kakak kamu?"

"Baik, udah dijahit lukanya. Cuma perlu butuh waktu yang lama untuk recovery. Kayaknya aku harus pulang ke rumah, kasihan dia tinggal sendiri, nggak ada yang rawat."

Leon diam mendengar penuturan Feby. Wajahnya terlihat murung memikirkan beberapa hari ke depan ia tak bisa melihat Feby di flatnya. Biasanya mereka selalu pulang pergi bersama.

Leon juga sering memanfaatkan kesempatan untuk merecoki gadis itu dengan meminta tolong tentang hal yang remeh-remeh. Sengaja untuk menggoda dan mengganggu Feby.

"Mas, kamu kok malah ngelamun. Kenapa? Capek?" Feby khawatir melihat Leon yang tiba-tiba merenung.

"Nggak papa, aku cuma mikir habis ini siapa yang bakal aku mintain tolong buat bikinin mi instan."

"Jangan keseringan makan mi instan, Mas. Lagian ngapain kamu nggak pulang ke rumah kamu aja, sih? Tadi Maura cerita, mama kamu sering kesepian sejak kamu tinggal."

"Maura cerita apa aja, Feb?" Leon bertanya penasaran, ia takut Maura membahas yang aneh-aneh tentangnya.

"Maura bilang kamu mau dijodohkan tahun ini, sama anak pemilik perusahaan ekspedisi yang paling besar di sini."

Leon kesal dengan Maura, ia juga tak habis pikir mengapa keluarganya bersikeras menjodohkan dirinya dengan Meta. Menggelikan sekali, mereka 'kan teman dari kecil.

Meta pernah tinggal di depan rumahnya, mereka selalu bermain bersama. Sebenarnya ia pertama kali belajar berciuman dengan Meta ini. Saat itu mereka baru SMP kelas dua.

"Kamu percaya?"

Leon khawatir perasaan Feby padanya berubah setelah mendengar cerita Maura. Selama ini ia terlalu percaya diri dan menganggap Feby mempunyai perasaan yang sama dengannya.

"Ya percayalah, lagian buat apa juga Maura bohongin aku? Nggak ada untungnya." Feby menjawab polos.  Leon kecewa karena tak mendapati tanda-tanda kecemburuan di wajah Feby.

"Beneran kamu nggak papa?"

"Emang aku harus gimana, Mas?" Feby betanya heran.

"Nggak cemburu atau semacamnya?"

"Kamu lucu, Mas. Kita 'kan cuma main-main. Nggak pacaran beneran, katanya pacar magang? Katanya suruh ingat rulesnya ...."

Feby tertawa sambil menggoda Leon. Kemudian ia berhenti karena melihat Leon tak ikut tertawa sepertinya. Apa ada yang salah?

"Oh, iya." Leon menjawab datar, membuat Feby merasa semakin heran, apa yang salah, sih?

"Kalau aku lihat-lihat hari ini kamu ganteng benget lho hehe." Feby berusaha mencairkan suasana.

"Yang benar?" Leon bertanya malas.

"Iya, ganteng banget."

"Percuma aja, toh kamu nggak naksir."

"Siapa bilang, aku juga normal tau! Cuma aku mikir, nggak tau diri banget aku naksir adek bos."

"Emang nggak boleh?"

"Boleh, tapi nggak pantes. Apalagi setelah liat rumah kamu. Makin minder aku."

Feby berkata serius. Ia merasa dirinya tak ada apa-apanya jika disandingkan dengan Leon. Mereka tak terlihat serasi sama sekali. Dari segi harta dan tampang.

"Di sinetron banyak yang kayak gitu."

"Hidup kok disamain sinetron? Ada-ada aja kamu. Pantesnya kamu sama anak pemilik perusahaan ekspedisi itu, sepadan sama kamu. Dipandang orang juga serasi, sama-sama kaya, sama-sama ganteng dan cantik ...." Feby mengehentikan ucapannya saat melihat dokter keluar dari kamar Tama.

"Keluarga Pak Tama?"

"Oh, iya, Dok."

My Abang, My Crush (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang