Sudah sebulan berlalu, hubungan Feby dan Tama pun tampak baik-baik saja, walau terkadang mereka sesekali bertengkar kecil.
Sekarang Tama mulai rajin apel ke flat Feby setiap seminggu sekali, setelah dia pulang kerja dia langsung mampir, mandi di sana juga. Feby mencebik kesal karena Tama sudah prepare baju ganti segala, niat sekali.
Setelah itu malam harinya mereka akan pergi nonton di bioskop atau hanya sekedar nonton film di DVD. Malam ini kebetulan sedang hujan, jadi mereka tidak pergi keluar.
Feby merasa tak ada yang berbeda dengan hubungan mereka saat masih menjadi kakak adik hingga sekarang menjadi calon suami istri. Kecuali Tama yang berubah jadi lebih agresif dan tukang gombal.
"Gimana, udah yakin mau nikah sama aku?" Tama menghampiri Feby yang sedang mencuci piring di dapur. Mereka baru saja makan malam bersama, menunya hanya telur dadar saja.
"Kayaknya aku nggak punya pilihan deh, selain menikah dengan kamu."
"Kok kayak terpaksa gitu? Kalau kamu nggak mau nerusin hubungan kita aku juga nggak maksa."
"Eh, tapi serius, aku dulu mikirnya kalau aku punya pacar 'tuh ya yang modelnya seperti kamu, Mas. Tampangnya, sifatnya, cara bicaranya." Feby berkata dengan heran, Tama yang mendengarnya jadi tersenyum jahil.
"Jadi secara nggak sadar kamu idolain aku dong?"
"Pede banget." Feby menyesali ucapannya tadi. Lihat saja, kini level kepedean Tama sudah naik ke level MVP.
"Aku juga gitu, aku nggak kepikiran bisa menikah sama cewek lain. Kalaupun ada, aku maunya yang kayak kamu, wajahnya, pembawaannya, cara bicaranya, cara ngambeknya."
"Kapan aku pernah ngambek?"
"Tiap hari, apalagi kalau lagi periode, udah kayak macan. Marah-marah mulu, kayaknya aku nafas aja salah."
"Lebay!"
"Kayaknya aku aja laki-laki yang sanggup jadi suami kamu. Apalagi kalau kamu masak cap cay kayak tempo hari, asinnya udah ngalahin air laut. Bisa jadi janda muda kamu, setahun kamu gituin suami kamu bisa mati kena hipertensi."
"Kamu ngledek aku, Mas?"
"Udahlah, biar aku aja yang menanggung beban itu, yang lain gak bakalan kuat. Apalagi si Leon itu, kasihan dia calon pewaris usaha papanya. Kalau dia mati gimana nasib ribuan karyawannya?"
"Aku jadi heran, kenapa ayah milihin aku calon suami kayak kamu gini? Bukannya ngerayu calon istri dari tadi kerjaannya menghujat mulu."
"Kamu banyak maunya, ya. Kemarin aku gombalin katanya lebay?"
"Terserahlah, Mas. Capek ngomong sama kamu."
Feby sudah selesai mencuci piring, ia meninggalkan Tama dan duduk di sofa ruang tamu. Tama mengikuti dan duduk di sampingnya.
Feby merasa dari tadi Tama melirik ke arahnya, sepertinya ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
"Mau ngomong apa, Mas?" tanya Feby sembari mengecilkan volume TV.
"Dek, setelah menikah kita tinggal di mana?"
"Ya di rumah kamulah, Mas."
"Yakin mau tinggal di sana?"
"Emang kenapa, sih, Mas?"
"Nggak papa, aku sih santai aja, cuma takutnya kamu nggak nyaman."
"Bagian mana yang bikin nggak nyaman, Mas?" Feby mengerutakan dahi karena tak paham arah pembicaraan Tama.
"Aku takut aja kalau kamu denger omongan tetangga yang nggak enak, tentang status kita yang berubah, tentang ...."
"Nggak usah diterusin, aku paham kok." Feby mulai mengerti maksud Tama. Kalau dipikir-pikir apa yang dikatakan Tama ada benarnya, Ia tak pernah berpikiran sampai ke sana.
Seorang kakak-adik tiri yang sudah bertahun-tahun tinggal bersama, kini tiba-tiba menikah. Pasti akan menjadi bahan pergunjingan mulut-mulut nyinyir.
"Jadi mau tetap tinggal di situ?"
"Aku terserah kamu aja, Mas." Feby menjawab pasrah.
"Tinggal di kolong jembatan mau?" Goda Tama.
"Boleh, asal kamu pasangin AC trus ada WiFi nya." Feby menjawab asal.
"Asal sama aku 'kan?"
"Kamu kenapa, sih, Mas? Sejak kecelakaan jadi lain gini?" Feby masih penasaran dengan perubahan sifat Tama yang begitu drastis.
"Makin cakep, ya?"
"Jadi kepedean, genit juga. Pasti otak kamu geser karena kebentur aspal 'kan?"
"Masa? Kamu juga, kenapa sih makin lama makin cantik aja?"
"Udah, Mas. Nggak usah ngegombal, kalau cowok lain yang gombal bisa bikin baper, kalau kamu malah bikin bundir."
"Terus kapan rencananya pernikahan kita ini akan dilangsungkan?"
"Terserah kamulah, Mas. Kan kamu penyandang dananya."
"Tanggal 15 kita nikah."
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomanceMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.