Tama mengajak Feby duduk di taman yang biasa mereka kunjungi. Suasana terasa canggung. Ini kali pertama mereka bertemu setelah pertengkaran mereka seminggu yang lalu.
"Mas, kok nggak pamit sama aku waktu mau pergi ke Makassar?"
"Buat apa? Emang kamu peduli?"
"Mas, aku minta maaf soal yang kemarin. Aku menyesal, aku salah."
"Selama seminggu ini aku udah berpikir. Mungkin yang kamu katakan benar. Aku terlalu mengatur hidup kamu."
"Mas, aku ...."
"Aku sadar kedudukanku yang cuma saudara tiri. Mulai sekarang aku ngebebasin kamu mau berbuat apa, itu hak kamu. Cuma satu yang aku pesan, tolong tau batasan. Kasihan ayah yang ada di alam sana kalau lihat kelakuan kamu."
Feby terdiam mendengar kata-kata Tama yang tajam menusuk, sepertinya kata-katanya tempo hari benar-benar melukai hati Tama.
"Selama ini aku terlalu melindungi kamu, sampai membuat kamu nggak nyaman. Aku minta maaf. Aku nggak nyadar kalau kamu udah dewasa, udah bisa menentukan jalan hidup kamu sendiri. Sepertinya saat ini aku udah nggak diperlukan lagi."
"Mas, nggak gitu ...."
"Aku nggak akan ngelarang kalau kamu kalau mau pacaran sama dia. Mulai saat ini kita urus saja urusan masing-masing."
Feby merasa nyeri dalam hatinya saat Tama mengatakan untuk mengurus urusan masing-masing.
"Mas, kamu salah paham. Aku nggak pacaran sama Mas Leon." Feby berusaha menjelaskan hubungannya dengan Leon.
"Kamu nggak usah bohong, tadi aku lihat sendiri kalian mesra-mesraan."
"Mas cemburu?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Feby. Ia tak sempat memikirkan tanggapan Tama akan pertanyaannya.
"Cemburu apa, Dek? Kamu pikir aku berhak cemburu?"
"Aku sama dia nggak ada apa-apa, Mas. Suer."
Feby berusaha meyakinkan Tama, entah mengapa ia tak mau Tama mengiranya mempunyai hubungan dengan Leon.
"Udah dibilang terserah kamu, aku nggak mau ikut campur lagi."
"Kok kayak marah?"
"Siapa yang marah?"
"Kalau gitu senyum, dong."
Tama menuruti tantangan Feby, ia tersenyum dipaksakan.
"Gini? Hm udah."
Feby tersenyum melihat ekspresi Tama yang seperti menahan kesal.
"Mas, aku kangen sama Mas."
Tiba-tiba Feby menggelendot dengan manja di lengan Tama. Ia refleks saja melakukannya.
"Bohong."
"Mas kangen nggak sama aku?"
"Biasa aja."
"Bohong."
Suasana hening sesaat, baik Feby maupun Tama saling melihat ke arah lain. Walaupun mereka sudah berbaikan tetap saja sekarang hubungan mereka terasa lain.
"Mas aku pingin makan nasi goreng bikinan kamu." Feby teringat, dulu saat sarapan sebelum berangkat sekolah Tama selalu memasak nasi goreng untuknya. Tidak terlalu enak, tapi masih layak makan.
"Beli aja. Ke Kebon Sirih mau?"
"Nggak mau, pokoknya bikinin!"
***
Feby dan Tama memasak di dapur kamar Feby. Mereka akan membuat nasi goreng. Kebetulan bahan-bahannya ada semua di kulkas.
"Dek, kamu kupas bawangnya, ya?"
Feby memperhatikan Tama yang sedang mengocok telur dari samping. Entah mengapa abangnya itu terlihat lebih tampan saat memasak. Karena tak hati-hati jari tangannya teriris.
"Aduh!"
"Kamu kenapa, Dek? Makanya kalau kerja 'tuh jangan sambil ngelamun. Sana cuci dulu lukanya, setelah itu kasih plester."
Feby tertegun mendengar kecerewetan abangnya. Bukannya menolong malah marah-marah. Feby kesal, menahan peri di jari dan juga hatinya.
"Dek? Kok malah ngelamun?"
"Mas jahat. Orang jari luka bukannya ditolong. Biasanya kalau di sinetron itu kalau jari ceweknya luka terus diemut sama cowoknya."
"Nggak mau lah, emang aku vampir?"
***
"Mas, kamu suka chattingan sama mbak Andin, ya?" tanya Feby saat mereka sudah selesai makan.
"Kok kamu tau?"
"Waktu kamu berangkat ke Makassar kamu pamit sama dia, tapi nggak pamit sama aku." Feby merajuk.
"Iya."
"Kalian kelihatannya dekat?"
Tama merasa ada nada posessif di suara Feby. Kalau begitu sekalian ia test saja.
"Bisa dibilang gitu." Tama semakin bersemangat menggoda Feby.
"Mas suka sama dia?"
"Mungkin, tapi yang pasti dia suka sama aku. Gimana menurut kamu kalau dia jadi kakak ipar, cocok nggak?"
"Ih, apaan. Nggak cocok, aku nggak setuju."
"Kenapa? Dia baik sama kamu 'kan?"
"Tapi dia itu agresif, Mas. Masa suka sama cowok duluan."
Tama tersenyum melihat tingkah Feby yang ekspresif. Ia jadi punya ide untuk menjahilinya.
"Nggak papa. Kan emansipasi?"
"Tetep aja nggak pantes, kesannya kayak kegatelan."
Feby merasa Tama membela Andin. Sejak kapan Tama suka gadis agresif seperti Andin? Biasanya Tama paling anti dengan wanita yang ekspresif dan terkesan tidak sabaran, pikir Feby.
Kalaupun akhirnya Tama mau dengan mereka, itu pasti karena Feby yang memaksanya. Kadang Feby merasa kasihan kepada wanita yang mengejar Tama. Sudah dicuekin, tapi masih saja usaha. Kadang ia sebagai wanita ikut merasa malu.
"Sepertinya sekarang kamu yang cemburu." Tama mengacak rambut Feby sebelum berlalu ke kamar mandi.
"Mana ada!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomanceMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.