"Kita jalan dulu."
Melihat wajah Feby yang sedih Leon berinisiatif untuk menghiburnya. Ia tau pasti apa yang sedang dialami gadis itu. Hanya saja Feby belum menyadari perasaannya.
"Ke mana, Mas?"
"Ke mall. Lo belum pernah kencan sama cowok 'kan? Anggap aja gue pacar sehari buat lo."
Leon mengajak Feby melakukan kegiatan yang biasanya dilakukan pasangan muda-mudi yang sedang berkencan. Seperti selfi berdua, makan berdua, bermain di time zone. Perlahan gadis itu kembali ceria.
"Enak 'kan punya pacar?"
"Iya."
"Makanya cari pacar, dong."
"Tapi, Mas Tama ...."
"Sekarang kakak lo pasti ngijinin. Lo 'kan udah gede."
"Tapi nyari di mana?"
"Selama lo belum nemu cowok yang jadi pacar lo, gue mau jadi pacar training lo. Anggap aja gue mentor lo."
"Hah?"
"Iya, gratis kok. Ini kursus cuma-cuma. Gue mau ngajarin lo caranya pacaran."
Tawaran Leon terdengar menarik di telinga Feby, tapi dia takut kalau ia terlanjur nyaman dengan Leon. Tak mudah menolak pesona playboy professional sekelas Leon.
"Kalau saya beneran suka sama Mas Leon, gimana?"
"Jangan, bahaya. Pokoknya lo jangan sampai suka sama gue. Itu rulesnya."
"Tapi ...."
"Gimana, lo setuju?"
"Em, iya."
***
Feby dan Leon pulang menggunakan taksi online. Mereka kaget karena melihat Tama yang sudah mengunggu di Lobby.
"Feb, gue ke kamar dulu, ya?" pamit Leon.
"Iya, Mas. Makasih udah ngajak aku jalan-jalan."
Tama mengamati percakapan Feby dan Leon dengan seksama. Feby tak peduli, ia malah senang Tama memergokinya dengan Leon. Ia merasa ada keinginan untuk balas dendam, tapi untuk apa?
"Sama-sama. Mari, Mas." Feby berbicara dengan nada yang sengaja dimanis-maniskan.
Leon berpamitan pada Tama yang ditanggapi dengan deheman singkat.
"Mas kok ada di sini? Bukannya lagi jalan sama mbak Andin?"
"Udah selesai."
Feby berjalan menuju kamarnya, diikuti Tama di belakangnya. Feby heran untuk apa kakaknya menemui dirinya setelah kencan dengan Andin.
***
"Kopi, Mas?"
"Boleh."
Feby menuju dapur, ia membuat dua cangkir kopi untuknya dan Tama. Biasanya ia tak minum kopi, ia lebih senang minum teh.
"Kamu habis jalan ke mana, Dek?"
"Oh, itu. Tadi Mas Leon ngajakin jalan-jalan ke mall, terus kita makan."
Feby tak menceritakan perihal dirinya yang menguntit Tama ke bioskop. Padahal Tama tadi sempat melihat Feby di bioskop. Makanya ia mampir kemari. Ia ingin menanyakan tujuan Feby menguntitnya.
"Kamu udah jadian sama dia, Dek?"
"Nggak, Mas. Orang kita cuma temen biasa."
"Tapi aku lihat kalian cukup dekat, sering berdua. Jangan mau digantungin tanpa status yang jelas, Dek." Ada nada kecemburuan dalam gaya bicara Tama, tapi Feby tak menyadarinya.
"Yang deket 'tuh Mas sama Mbak Andin." Feby tak sadar sudah berkata dengan nada tinggi.
"Kami baru jalan sekali, Dek. Lah, kamu sama si Leon itu ...."
Sekarang mereka berdua tampak bagaikan dua orang yang sedang cemburu satu sama lain.
"Terus kapan Mas seriusin mbak Andin? Jangan gantungin anak orang, Mas." Feby memotong ucapan Tama sekaligus menyindirnya.
"Jadi kamu nggak papa kalau aku jadian sama dia? Katanya kamu nggak suka, alasannya dia ganjen lah, ini lah ...."
"Terserah Mas. Aku nggak berhak ikut campur. Bukannya Mas sendiri yang bilang mulai sekarang kita urus urusan masing-masing?" Feby memotong cepat.
"Oke, kalau begitu. Makasih udah ngijinin."
Feby merasa nyeri di hatinya mendengar perkataan Tama, seolah Tama sangat senang karena diijinkan berhubungan dengan Andin.
"Lain kali kalau mau apa-apa nggak usah nunggu ijin dari aku, Mas. Sekalian aku ingetin, Mas juga jangan mencampuri urusan aku sama Mas Leon."
"Dek, aku cuma ngingetin, jangan sampai kamu ...."
"Aku udah gede, Mas. Aku tau batasan. Aku bisa bedain mana yang baik dan mana yang buruk." Lagi-lagi Feby memotong perkataan Tama.
"Syukurlah kalau begitu."
Suasana begitu canggung, hanya terdengar suara televisi. Mereka berdua fokus dengan kopi masing-masing.
"Kalau sampai kamu kenapa-napa, dia yang aku hajar."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomantizmMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.