Setelah merayakan ulang tahunnya bersama Silvia, Tama segera pulang ke rumah. Ia mendapati rumah dalam keadaan sepi.
Ia melihat arlojinya, sudah pukul sepuluh malam. Ia bergegas menghubungi Feby.
"Dek, kamu masih lama kerja kelompoknya?"
"Udah selesai, Mas."
"Kok kamu nggak nelpon aku?"
"Emang Mas udah di rumah?"
"Baru pulang, Dek. Ya udah aku jemput, ya?"
"Oh, oke."
Feby memutus panggilan, ia segera pergi ke depan kompleks perumahan Nita. Ia akan mencegat Tama di sana.
Sebenernya ia tak pergi ke rumah Nita, ia hanya menghabiskan waktu duduk-duduk di kafe selama berjam-jam.
Ia tak mau membuat Nita kecewa karena ia gagal merayakan ulang taun Tama. Kasihan sahabatnya itu karena sudah capek membantunya memasak.
Hasil masakannya tadi ia bungkus di stereo foam dan ia bagikan ke tetangganya. Sebelum pergi ia juga membereskan dapur. Jangan sampai Tama curiga kalau ia sudah memasak.
Setelah 30 menit menunggu akhirnya tampak motor sport milik Tama dari kejauhan. Feby melambaikan tangannya.
"Dek, kamu kok nunggu di sini?"
"Iya, Mas. Nggak enak sama keluarganya Nita kalau kamu bertamu malam-malam ke sana."
"Tapi ini udah malam, Dek. Kamu perempuan berdiri sendiri di depan kompleks kayak gini lho. Kalau kamu didatengin preman, gimana?"
"Ya aku ajakin selfi premannya."
Feby berkata sambil cengengesan. Tama menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan adiknya itu. Ia memakaikan helm di kepala Feby.
"Lain kali jangan gitu lagi, Dek. Bahaya."
"Iya, Bos! Bawel amat, ayo cepetan pulang."
Feby segera naik ke boncengan abangnya. Tama meraih tangan Feby dan melingkarkan di pinggangnya.
"Jangan ngantuk, nanti kamu jatuh."
***
"Dek, kamu udah makan?"
Tama bertanya dalam perjalanan. Jarak rumah mereka dan rumah Nita memang agak jauh.
"Udah."
"Makan lagi, yuk?"
"Emang Mas belum makan?" Feby terkejut dengan ajakan Tama.
"Tadi aku makan dikit, Dek. Aku kepikiran kamu, jadi nggak nafsu makan."
Tadi Silvia mengajak Tama makan di restoran steak milik temannya. Sepanjang acara kencan mereka, Tama lebih banyak melamun. Ia selalu memikirkan Feby, adiknya itu sudah makan atau belum.
"Lah, kenapa?"
"Nggak papa. Kita makan di nasi goreng Kebon Sirih, yuk?" Tama mengalihkan pembicaraan.
"Kan jauh, Mas?"
"Nggak papa, aku pingin makan di sana. Lagian 'kan besok Minggu."
***
"Mas, gimana ngerayain ultah bareng mbak Silvia?" tanya Feby saat mereka sudah di depot nasi goreng langganan mereka.
"Seneng. Tapi berasa ada yang kurang. Karena nggak ada kamu."
Tama memakan nasi gorengnya dengan lahap, lain sekali saat ia makan steak dengan Silvia tadi. Sebenarnya ia kurang suka makan di restoran seperti itu, sudah porsinya kecil, mahal lagi. Tapi untuk mengajak Silvia makan di pinggir jalan seperti ini ia merasa ragu, nampak sekali Silvia tidak terbiasa.
"Mas 'kan udah punya pacar, jadi harus dibiasain apa-apa 'tuh sama pacar, jangan sama aku terus. Suatu saat aku juga bakal punya pacar. Aku juga bakal sering berduaan sama pacar aku."
Seketika Tama menghentikan suapannya mendengar celoteh Feby. Entah mengapa ia merasa tidak senang mendengar perkataan adiknya itu.
"Dek, kamu janji, ya?"
"Apa?" Feby menjawab cuek seraya melahap nasi gorengnya.
"Walaupun kamu nanti punya pacar, jangan jauhin aku. Kamu harus tetep utamain aku."
Mendengar permintaan Tama, Feby jadi tersedak. Dengan perhatian Tama mengulurkan teh manis kepadanya. Tama juga berpindah tempat duduk, ia mengelus pelan punggung Feby.
"Ya nggak bisa gitu dong, Mas." Feby berujar setelah pernapasannya normal.
"Janji atau nggak aku ijinin pacaran?" Ancam Tama.
"Ih, kok Mas ngatur?" protes Feby.
"Biarin, aku 'kan abangmu, wakil ayah dan ibu."
Seketika Tama teringat akan amanah ayah angkatnya, sebelum beliau meninggal dunia.
"Iya-iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Abang, My Crush (Complete)
RomanceMungkin jodoh tidak datang tepat waktu, tapi jodoh datang di waktu yang tepat.