4. Perkenalan

381 48 17
                                    

"ASTAGFIRULLAH, AGENG! BAGAIMANA INI BISA TERJADI?"

Terang saja Monik terkejut bukan main begitu mendengar cerita Ageng. Ia pun masih tak lepas mengamati penampilan Ageng dengan seragam sopir itu. Sebelumnya ia ditelepon Ageng yang memberitahu keberadaannya di department store. Jelas sekali Monik heran karena ia pikir seharusnya Ageng sudah berangkat ke bandara.

Monik mengurut pelipisnya yang sebagian tertutup kain ciput kerudung segi empatnya. Ia masih berusaha mencerna penuturan Ageng yang tahu-tahu menjadi sopir bos. Bukan bos sembarang bos, sebab kenyataannya Ageng menjadi sopir pribadi seorang Rino Bagasaka yang tak lain merupakan atasan sekaligus putra almarhum pemilik department store tempat Monik bekerja.

"Tidak bisa, ini tidak bisa dibiarkan. Mbak akan bicara langsung sama Pak Bagas. Mbak akan jelaskan kalau kamu adalah sepupu mbak dan bukan sopir." Serta-merta Monik berdiri dari bangkunya. Saat ini ia dan Ageng memang berada di area taman dekat musala belakang pusat perbelanjaan itu.

Ageng ikut berdiri. "Mbak, nggak usah. Biar aku sendiri yang nanti bakal jelasin kesalahpahaman ini sama bosnya mbak itu. Masalah ini nggak ada sangkut pautnya dengan Mbak Monik. Jadi aku sendiri yang akan menyelesaikannya, Mbak," ujarnya menenangkan Monik.

"Tapi, Geng ...."

"Mbak, aku bisa."

Monik menatap kesungguhan di mata Ageng. Sebagai saudara, Monik merasa perlu bertanggung jawab jika sampai terjadi sesuatu pada Ageng. Dari dulu mungkin Moniklah yang selalu terkesan protektif. Namun, kali ini Monik paham bahwa sebenarnya Ageng sudah dewasa dan perlu mandiri. Kali ini pun saatnya menyediakan ruang terbuka untuk Ageng menyelesaikan masalahnya sendiri. "Oke, kalau itu maumu. Mbak percaya kamu bisa."

"Oh ya, Mbak, soal liburan itu kayaknya mesti batal, deh," gumam Ageng kemudian.

Menengok waktu yang ditunjukkan arlojinya, mulut Monik lantas hanya mampu mengeluarkan desahan pasrah. "Mau bagaimana lagi? Kamu sudah ketinggalan pesawat juga sekarang."

"Terus untuk semua biaya paket liburannya nggak bisa ditarik kembali, Mbak?"

"Kalaupun mbak gagalin, biaya yang sudah dikeluarkan juga tidak mungkin bisa balik seratus persen."

"Maafin aku ya, Mbak." Ageng jadi merasa bersalah.

Monik tersenyum sembari mengusap kepala Ageng yang lebih tinggi darinya. Perawakan Ageng memang bongsor-cukup berisi dan tumbuh ke atas-sehingga saat Monik bersebelahan dengan pemilik kulit sawo matang itu pun bisa sangat memungkinkan orang lain mengira mereka sebagai pasangan kakak perempuan dan adik laki-laki. Pernah salah satu korbannya adalah Dokter Adit, tetangga sebelah unit kondominiumnya yang dulu Monik sempat mintai pertolongan untuk memeriksa demam Egi.

"Sudahlah, kamu tidak usah pikirkan soal itu. Gampang nanti mbak yang akan urus. Terpenting sekarang kamu harus segera jujur sama Pak Bagas. Semoga Pak Bagas juga bisa mengerti," pungkas Monik.

Sore harinya mobil yang dikendarai Ageng tiba kembali di kediaman Keluarga Wardaya. Pintu belakang sedan hitam mengilat itu dibukakan Ageng hingga disusul keluar seorang laki-laki berpenampilan perlente. Teringat dengan tujuannya membersihkan kesalahpahaman tadi pagi, Ageng pun tak membuang lagi kesempatan untuk mengaku yang sebenarnya.

"Maaf, Pak Bagas," panggil Ageng menghentikan langkah CEO muda itu.

"Ada apa?" Bagas bertanya datar.

Ageng membeku di tempat demi mendapati dirinya malah mendadak kicep dalam situasinya sekarang. Mana bosnya Monik di kantor itu tidak ada senyum-senyumnya. Terlebih suaranya yang dingin itu seolah dalam sekejap menciutkan keberanian Ageng. Kata-kata yang telah ia susun sejak tadi juga seolah ambyar bersamaan kelu lidahnya.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang