31. Kembali Seperti Dulu

123 13 8
                                    

“JANGAN ... JANGAN PERGI, KARA!”

Seolah baru mendapati mimpi buruk,  Bagas terkesiap bangun dengan raut wajah tegang. Napasnya memburu seirama gerakan kedua bahunya yang naik-turun dengan cepat.

Mulai merasa lebih tenang, laki-laki bermata kuyu itu lalu mulai mengamati ruangan tempatnya berada saat ini. Seketika ia tersadar dengan apa yang sudah terjadi padanya. Ternyata ia sempat ketiduran di kursi ruang kerja pribadi itu dan mimpi buruk benar-benar dialaminya.

Bagas mengusap kasar wajahnya yang kusut masai. Jangankan mengingat untuk bercukur, alih-alih kemeja putih yang tidak lagi rapi dengan dua kancing atas terbuka dan bagian bawah keluar dari celana itu turut menjadi saksi bahwa ia sedang tidak mempedulikan penampilannya. Bertubi-bertubi kejadian di luar dugaan menghantam jiwanya. Alasan itulah yang membuatnya mengurung diri di ruang kerjanya saat ini. Kendati demikian, alam bawah sadarnya tak mengharuskan ia beristirahat dari kejaran mimpi buruk tentang Kara.

Suara mengais-ngais kecil menyadarkan Bagas akan kehadiran makhluk lain di ruangan tersebut. Ah, itu Raki, kucing tuksedo yang setahun lalu tersesat masuk ke halaman belakang rumah hingga kemudian dipelihara sendiri oleh Kara. Kara memang sangat menyayangi Raki seolah kucing itu satu-satunya teman pada masa-masa Kara berjuang sembuh dari beban mental yang disebabkan oleh Bagas.

Bagas bertanya-tanya, bagaimana Raki bisa menyelinap masuk lagi ke ruang kerjanya sekarang? Sepertinya Bagas tahu kucing pintar itu selalu dapat memanfaatkan celah pintu yang tidak tertutup sepenuhnya.

Bagas beranjak menghampiri Raki yang masih sibuk mengais-ngais bagian belakang kabinet berisi deretan buku. Kali ini bukan untuk mengusir kasar Raki seperti yang dulu pernah Bagas lakukan, melainkan hanya penasaran kenapa Raki selalu tertarik menjangkau tempat tersebut.

Pantas saja ada untaian tali pita yang tersembunyi di antara deretan buku. Jadi selama ini Raki suka menyelinap ke ruang kerjanya karena mengincar sebuah tali pita. Namun, dari mana asal pita berwarna perak itu? Tanpa berpikir lama lagi, tangan Bagas menggerapai celah kosong di belakang deretan buku itu demi mengeluarkan kotak kecil berbungkus kertas layaknya sebuah kado.

For my Son, Bagas.

Dalam hati, Bagas merapal tulisan di bagian penutup kotak kado tersebut. Refleks, Bagas segera menyadari hanya Diptalah orang yang senantiasa memanggilnya demikian. Terlebih ruangan kerja ini pernah ditempati Dipta sebelumnya. Jadi, sangat jelas jika ayah angkatnya itu juga yang sengaja menyimpan hadiah untuk Bagas di sana.

Bagas membawa kotak kado seukuran telapak tangan orang dewasa itu kembali ke meja kerjanya. Ia pun membukanya demi mendapati sebuah dasi berwarna cokelat metalik dengan corak garis-garis diagonal. Sejak kapan Dipta menyiapkan hadiah dasi itu untuknya?

Perhatian Bagas lantas teralih pada sepucuk surat bertuliskan tangan Dipta. Secara saksama, Bagas dapat membaca coretan tinta yang dicurahkan ayah angkatnya.

Bagas, anak papa ....

Papa tahu belum bisa menjadi orang tua yang baik untukmu. Kamu pergi dari rumah karena tangan penuh dosa papa ini pasti sangat menghancurkan hatimu. Papa tidak akan membela diri dengan mengatakan itu khilaf. Papa akui terlalu dikuasai emosi sesaat, sehingga semua pelampiasan jadi kamu yang menanggungnya.

Papa minta maaf, Nak. Papa dan mama tidak bermaksud menyalahkanmu. Begitu juga Kara. Dia menunggumu setiap hari. Adikmu juga yang memohon supaya papa dan mama berhenti memarahimu. Semua kejadian itu adalah takdir dan dia sudah mulai berlapang dada menerima keadaannya.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang