KESUNGGUHAN Kara mengikuti serangkaian metode terapinya dalam tiga bulan terakhir ini ditunjukkan melalui prognosis yang cukup signifikan. Semua itu pun didukung oleh semangat Kara yang bertekad kuat agar bisa berjalan kembali.
Kara dapat merasakan manfaat terapi robotik lokomat yang menempatkan penggunanya seperti berjalan di atas treadmill beserta bantuan penyangga. Hasilnya dalam sepekan ini Kara sudah mulai belajar menggunakan walker.
Tidak hanya mengandalkan terapi di tempat rehabilitasi, Kara yang berbekal semangatnya itu juga harus menjajal berlatih mandiri di rumah, walaupun masih harus jatuh bangun.
Pagi ini pun Kara akan mencobanya lagi. Kara memantapkan hati. Menata tekad yang setiap kali ia sematkan ketika harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Perlahan, Kara menapakkan salah satu kakinya diikuti kaki lainnya. Bertumpu pada armrest kursi roda, hati-hati Kara mulai mengangkat tubuhhya dari dudukan. Namun, tidak lebih dari sedetik, tubuh yang sempat gagal ditopang oleh kedua kakinya itu nyaris goyah ke samping.
Tidak! Kara harus bisa. Sesulit apa pun, jangan sampai ada kata menyerah. Tangannya menggerapai lemari di dekatnya yang ia jadikan pegangan. Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima. Kara mampu menahan tubuhnya tetap berdiri hingga lima detik.
Tahap berikutnya Kara harus mencoba melangkah. Kurang dari dua meter di depannya, menanti Raki yang tengah duduk sambil mengibas-ngibaskan ekor panjangnya.
“Tunggu di situ, Raki.” Kara mengerahkan segenap upayanya untuk menghampiri kucing peliharannya.
Raki mengeong seolah mengerti untuk tetap di tempat dan menunggu tuannya.
Kara tahu bahwa untuk menyeret satu kakinya saja rasanya seperti ada rantai berat yang membelenggunya. Sempat beberapa kali nyaris terjatuh, tetapi setapak demi setapak diselesaikan Kara hingga semakin mendekati Raki.
Nyaris saja Kara akan kembali jatuh ketika tangannya sudah lebih dulu mencapai permukaan meja konsol. Upaya berjalan yang bahkan tidak sampai dua meter rupanya sebegitu menguras tenaganya. Namun, Kara sangat puas ketika berhasil sampai dalam target finisnya. Raki yang lagi-lagi mengeong kali ini pun seolah ikut senang sampai melakukan aksi bergulingnya di bawah kaki Kara.
Tepat di atas meja konsol, pandangan Kara tertumbuk pada pigura kayu yang memuat foto keluarga kecilnya. Kara meraihnya. Terfokus hanya meraba potret ayah dan ibunya yang terabadikan sewaktu mereka menggelar acara barbeku di belakang rumah.
“Pa ... Ma ... Kara udah bisa jalan,” gumam Kara, seolah tengah mengajak bicara kedua orang tuanya yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Andai ayah dan ibunya juga bisa melihat, pasti mereka akan ikut senang.
Kara meletakkan pigura itu di tempat semula. Sebaiknya sekarang Kara harus kembali ke kursi rodanya sebelum ada orang yang melihat ia sudah mulai bisa berjalan. Ya, sejak awal mengikuti fisioterapi itu Kara memang masih merahasiakannya dari Bagas, termasuk Mbok Jum dan semua orang di kediaman Wardaya.
❤
Bagas selesai dari kantornya lebih cepat. Tinjauan ke cabang Ungaran pun sampai rela dibatalkan. Mengingat sopir yang baru bekerja seumur jagung itu sudah dipecatnya, Bagas mengalihkan perintahnya pada Alfin supaya mengantar pulang ke rumah.
Bagas keluar dari mobil tanpa menunggu Alfin membukakan pintunya. Laki-laki dengan wajah merah padam itu melangkah tak sabaran ke dalam rumah. Kedua tangan yang senantiasa terkepal seperti bisa menghancurkan apa-apa saja yang menghalangi jalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...