27. Monster

302 38 23
                                    

DI DEPAN cermin tinggi itu terpampanglah keanggunan seorang gadis yang berdiri tegak dengan gaun pengantin putih membalut tubuh langsingnya. Rambut panjang bergelombangnya yang memadukan warna chestnut serta aksen soft ombre dibiarkan tergerai menutupi seluruh bagian punggung.

Di depan cermin butik bridal itu Irena bisa memandangi bayangan dirinya sendiri laksana putri kerajaan bergaun ball gown yang menunggu kedatangan sang pangeran.

"Wah, mbaknya cantik sekali. Siapa pun nanti yang jadi calon suami mbak pasti beruntung karena bisa mendapatkan pasangan secantik ini." Kalimat pujian dilontarkan asisten butik tempat Irena mengepas gaun pernikahannya.

Senyuman tipis memang terlukis di bibir Irena, tetapi setumpuk kesedihan dalam pancaran matanya tak dapat mengelabuhi cermin yang lebih tahu bagaimana harus jujur dengan perasaannya. Semua orang pandai menunjukkan ungkapan turut berbahagia, tetapi tidak ada yang bertanya apakah ia bahagia menyambut hari pernikahannya sendiri.

Sekeras hati ia ingin lari dari pernikahan yang tidak diinginkannya, sekeras itu realitas menampar kesadaran Irena bahwa ia tidak memiliki tempat berpijak untuk melepaskan diri dari Bagas. Irena tahu seperti apa eksekutif muda tampan, mapan, berpendidikan tinggi, dan matang dari segi usia seperti Bagas selalu berhasil meraih label calon menantu sempurna di mata kedua orang tua angkatnya. Sebaliknya bagi Irena yang hingga saat ini pintu hatinya belum mampu terbuka untuk Bagas, penderitaan batin itu harus ia tutupi dengan topeng sandiwara.

"Sudah siap, Mbak? Mari, kita keluar, " kata asisten butik usai merapikan pita organza pada bagian belakang gaun pernikahan kliennya.

Kini Irena menghadap tirai ruang ganti yang perlahan terbuka hingga seorang laki-laki di kursi tunggu itu siap terpana menyambutnya.

Bagas rela mematikan tabletnya demi menghampiri bakal calon istrinya tersebut. Irena benar-benar cantik. Bagas tak henti memuaskan rasa jatuh hatinya sejalan ia bertekad bahwa hanya dirinya yang boleh memiliki gadis itu.

"Kamu cantik," tutur halus Bagas begitu asisten butik meninggalkan privasi mereka berdua di ruang naratetama yang khusus dipesan Bagas.

Dari bibir Irena yang sewarna buah persik itu hanya mencetak senyuman getir. Kedua bahunya yang terbuka bisa merasakan sentuhan lembut Bagas. Entah sejak kapan berhadapan persis dengan laki-laki itu tidak menguntungkan bagi tubuh Irena yang mendadak membatu seperti terikat tali-temali tanpa kasatmata. Di detik berikutnya Irena tak mampu lagi melawan gravitasi pelukan Bagas.

"Saya berjanji akan membahagiakanmu."

Bisikan Bagas berembus di liang telinga kiri Irena. Pelukan itu sangatlah lembut, pelukan itu sangatlah hangat, tetapi Irena merasakannya seperti sangkar belenggu yang akan merenggut kebebasannya.

Salah besar selama ini Irena meremehkan Bagas. CEO muda itu mulai memperlihatkan sikap posesifnya yang berujung tekanan besar dalam batin Irena. Apalagi belakangan ini Bagas cenderung dikuasai cemburu buta terhadap setiap laki-laki yang menurutnya terlalu akrab sekalipun hanya berbincang masalah pekerjaan dengan Irena.

Bukan hitungan lagi Bagas meributkan sesuatu yang semestinya tidak ia curigai. Puncak dari kecemburuan tak berdasar Bagas itulah yang mendorongnya mempercepat hari pernikahan. Di satu sisi, Irena berharap dapat menghilang saja dari muka bumi. Namun, di sisi lain, ada hati kedua orang tua angkatnya yang tidak sanggup ia kecewakan jika tiba-tiba membatalkan pernikahan itu.

Diam-diam Irena meremas gaun pernikahannya. Demi nama baik keluarganya, siap tidak siap mungkin beginilah garis takdir yang tercipta untuknya.

Irena melajukan mobilnya menyusuri jalanan berkelok-kelok di dataran tinggi itu. Siapa peduli dalam pekat dan dinginnya malam itu ia berkendara seorang diri. Tujuannya hanya satu. Hanya ke tempat itu Irena merasa dapat menenangkan diri.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang