3 || Sick

609 102 49
                                    

"Ck! Apa sih, Vin?" tanya Geraldi yang mulai merasa geram karena cowok yang berbaris di belakangnya ini dari tadi mencolek lengannya terus-terusan.

Vino melengkungkan bibirnya ke bawah. "Gue bau badan ya, Di?"

Pertanyaan itu membuat Geraldi hampir mengumpat kecil. "Kagak, anjir."

"Bohong kan lo?"

"Yaudah, lo bau bawang dah."

"Anjeng."

"Lo maunya apa sih, bangsat? Dikasih mata minta hidung. Giliran udah dikasih hidung malah minta mata lagi," cerocos Geraldi mulai lelah dengan tingkah menyebalkan si Vino ini.

"Ya, elo sih ...." Vino merendahkan suara dengan bibir mengerucut. "pendusta."

"Gue dusta dari segi apa sih, ikan tongkol?" Geraldi sedikit memiringkan badannya ke arah Fidelya yang kebetulan berdiri di sebelahnya. "Fi, bestie lu tolong dikandangin aja. Capek gue ladenin dia lima hari dalam seminggu. Meledak otak gue lama-lama."

"Aamiin," sergah Vino mengamini, membuat Geraldi menoleh ke belakang dan menoyor kepalanya. Fidelya hampir tergelak, tapi cepat-cepat ia menguasai diri dan sedikit menarik topi abu-abunya sampai menutupi jidat.

"Kasih wishkas, Di."

Vino menoleh sambil melotot pada Fidelya. "Sialan, gue bukan kucing."

"Yaudah sih, diem makanya," perintah Fidelya yang hendak mencubit lengan cowok manis itu, tapi Vino langsung mengelak.

"Gue mau pura-pura pingsan aja deh!" pekik Vino dengan nada tertahan, mengingat saat ini mereka masih di lapangan upacara.

Geraldi mendengkus. "Vin, lo bener-bener gak ada--"

"Eh, ada apaan tuh?" tegur Fidelya sambil menepuk-nepuk lengan Geraldi dan Vino bergantian, membuat kedua cowok itu jadi menoleh ke barisan anak IPS kelas 10.

"Ada yang pingsan kali," jawab Geraldi sambil menyipitkan mata.

"Si Jiya berulah lagi, ya?" kata Vino sembari menolehkan kepala ke kanan dan kiri. Sedikit mengingat kalau cewek berdarah campuran Korea-Indonesia itu kerap berpura-pura pingsan sebelum pembina upacara mulai menyampaikan amanat. Apalagi kalau yang berdiri di sana adalah pak Rahmat--guru fisika yang kini mengajar di kelas 10. Sudahlah, bisa sampai keram telapak kaki siswa dibuatnya.

"Bukan." Fidelya mengernyit. "Itu masih barisan IPS, Vin."

"Kalau gak kuat upacara gitu sih, mending diem dalam kelas aja," ujar Geraldi yang menoleh ke belakang diikuti oleh Vino, melihat ke arah beberapa petugas PMR--Palang Merah Remaja--yang tengah mengangkat tandu menuju tangga yang ada di gedung IPA.

"Ooo--" Vino melotot seketika saat menemukan wajah tidak asing di atas tandu berwarna orange itu. Walau berikutnya ia langsung memegang perut dan memekik tertahan.

"Aduh, aduh, perut gue," rintih Vino yang segera berjongkok dengan wajah berubah memias, membuat Geraldi jadi menunduk, memandanginya dengan alis naik sebelah. Sementara beberapa siswa yang berada di dekat Vino jadi menoleh penasaran.

"Eh, Vin? Lo kenapa dah?" tanya Fidelya terkejut, walau berikutnya ia malah mendecak karena melihat wajah memelas sahabatnya itu seolah meminta sedikit bantuan.

"Mai!" panggil Fidelya sambil melambaikan tangan pada Haliya yang terlihat berdiri siap di barisan paling belakang sebagai petugas PMR, membuat gadis berlesung pipi itu segera berlari mendekat.

"Kenapa ni bocah?" tanya Haliya yang langsung berjongkok, membantu Vino untuk berdiri.

"Gak tau deh. Tiba-tiba merintih gitu sambil megang perut," jawab Fidelya sambil menggedikkan bahu, walau dalam hati malah mengumpati cowok manis itu karena sudah melibatkannya dalam drama dadakan ini.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang