21 || Mindset

119 44 105
                                    

Part 21 - Mindset

****

Vino belum juga menyerah. Dia mengikuti Reha yang berniat menuju ke rombongan sekbid kewirausahaan sembari mengulang pertanyaannya saat di parkiran tadi.


"Re, pertanyaan gue yang tadi belum dijawab. Lo sakit apa?"

Tapi Reha tidak menggubrisnya. Sampai-sampai saat melewati halaman depan sebelum masuk ke koridor, beberapa anggota OSIS yang ia yakini naksir pada Vino mulai meliriknya sinis, lantas saling berbisik dan menggunjing Reha karena mengabaikan Si bendahara OSIS tersebut.

"Irehaaa."

"Reha, balek sini, Nak."

"Ireha Zafiraaaa."

Mereka kini berjalan menelusuri koridor di gedung utama dengan Vino yang terus saja menyebut nama Reha seperti emak-emak saat memanggil anaknya yang sibuk bermain layangan.

Koridor di gedung IPS dan IPA terlihat sepi karena gladi kotor yang dilakukan oleh pengurus OSIS dan MPK tidak membersihkan di dalam kelas, melainkan bagian out door saja. Sisanya, in door akan dilakukan bersama seluruh siswa SMA Unggulan Bumi Khatulistiwa sebelum upacara dimulai pada hari Senin.

"Re--"

"Gue ngidap anemia aplastik, No! Udah kronis!" lontarnya penuh murka, membuat koridor yang tadinya tenang kini menimbulkan gema.

Refleks Vino merapatkan bibir saat Reha tiba-tiba berbalik padanya dengan raut nyalang.

"Puas lo?" tanya Reha dengan suara rendah, namun menusuk.

Menipiskan pandangan, Vino menatap kedua bola mata Reha yang menyiratkan rasa pedih dan sakit. Dia merasa bersalah kini. "Gue--"

Lagi, Reha merengkuh kerah baju Vino belum membiarkan pemuda itu angkat bicara. Kakinya sedikit berjinjit, menyamakan tinggi badan walau hanya mencapai bahu pemuda tersebut.

"Sekarang udah gue kasih jawaban kan? Bisa lo sembuhin gue, No? Enggak kan? Trus ngapain lo nanya-nanya?" berondong Reha begitu kesal.

Jujur, Reha sudah lelah mendengar semua ocehan tidak berguna pemuda ini. Penyakitnya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele dan mudah untuk ia bagi begitu saja. Teman kelasnya saja tidak ada yang tahu kondisi kesehatannya yang buruk. Lalu pemuda ini dengan sok akrabnya menuntut dirinya. 

Si bendahara OSIS hanya bungkam, tidak bisa berkomentar. Meski pemuda itu tidak merasakan kekuatan dari genggaman Reha, tapi ia benar-benar tidak bisa membela diri saat melihat derita yang biasanya gadis itu sembunyikan kini terlihat jelas di matanya.

"Sorry, Re," ucap Vino dengan pandangan menyayu. Sebenarnya ada banyak pembelaan yang ingin Vino lontarkan, namun bibirnya kelu. Alhasil hanya sanggup mengatakan maaf pada Reha.

Vino meruntuk dalam hati. Bukan begini maksudnya. Ia mendesak Reha semata-mata hanya ingin tau serta berusaha memahami apa yang dirasakan oleh gadis itu, tapi yang terjadi malah melukai perasaannya.

Harusnya Vino lebih peka dan tidak memaksa. Harusnya Vino tidak menghiraukan rasa penasarannya. Bahkan misi untuk membuat gadis itu tertawa saja sudah susah. Kalau sudah begini, Reha malah tambah tidak suka padanya.

"Gue mohon, biarin gue sendiri dan jangan pernah ikutin gue lagi."

Vino yang tadinya menurunkan pandangan, spontan mengalihkan atensi pada Reha yang baru saja melepas kerah bajunya. Matanya membulat sempurna, tentu saja ia akan menolak permintaan si gadis jutek.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang