22 || Understand

96 39 104
                                    

Part 22 - Understand

***

Vino menghela napas, mengerucutkan bibir menatap Fidelya yang terpingkal di depannya. Dia mengusap lengan kirinya sambil melemparkan tatapan sebal pada gadis tersebut.

Tadi memang Vino sempat melamun di depan pintu masuk lapangan in door. Duduk, merenungkan dosa-dosanya pada sang pujaan hati beberapa waktu lalu. Tau-tau malah diselepet pake mukenah sama gadis satu ini.

Untung jantung Vino tidak lari dari tempatnya karena terkejut.

"Fi, lo nambah-nambahin kerjaan malaikat Atid tau gak?! Abis dicoret, ditulis lagi dosa lo," protes Vino terdengar berisik. Mengingat sekitar sepuluh menit yang lalu, mereka sudah melaksanakan salat berjamaah di mushola. Bahkan peci pemuda itu masih belum dilepas.

"Lagian lo ngelamun gak jelas sih," balas Fidelya sedikit terkekeh tidak merasa bersalah. Kemudian duduk di sebelah Vino. Melipat mukenah berwarna biru langitnya dan bertanya, "Kenapa tuh muka lecek amat?"

Ekor mata Vino melirik temannya tersebut dengan bibir terkatup. Sekarang Fidelya sedang membenahi kuncirannya yang agak melonggar.

Tidak seperti sekolah kebanyakan, SMA Unggulan Bumi Khatulistiwa memang tidak mengharuskan siswi yang beragama Islam untuk mengenakan kerudung. Tapi bukan berarti tidak ada siswi yang menutup rapat auratnya di sekolah swasta tersebut.

Ada kok yang pake, contohnya para siswi yang bergabung dalam ekskul remaja masjid. Di sekbid keagamaan juga ada banyak. Cuman, di circle teman-teman cewek Vino seperti Fidelya sampai si waketos, Delima Kirania memang belum dapat hidayah saja. Entah datangnya kapan, pemuda itu tidak mempermasalahkannya juga.

"Mama Dedeh mana?" tanya Vino, mengabaikan pertanyaan Fidelya barusan.

Bukannya tidak mau cerita, pemuda ini lebih nyaman curhat ke waketos. Kenapa? Mungkin karena Delima itu mamah kita bersama. Dia cantik, pintar, dan pendengar yang cukup baik. Tidak banyak bacot seperti Fidelya.

Makanya Vino kalau disuruh pilih curhat antara keduanya, pasti datangnya ke Delima. Tapi meski begitu, terkadang Delima juga asal jeplak kalau lagi bicara. Yah, manusia memang tidak ada yang sempurna sih.

"Lagi ada acara di indosiar."

"DELIMA MAKSUD GUE!" ralat Vino jadi tersulut karena jawaban Fidelya. Membuat gadis berkuncir satu itu mendesis, segera menutup telinganya rapat sebagai perlindungan.

Vino tuh kadang tidak sadar ya kalau suaranya suka sumbang saat berteriak begini.

"Yes?" Si gadis yang kerap mengepang dua rambutnya tersebut menyahut begitu mendengar namanya disebut.

Waketos yang katanya ramah pada semua orang itu sedang memasang sepatu di pelantaran mushola. Kepalanya spontan menoleh sambil melambaikan tangan riang, memandang Vino dari posisi yang tidak jauh darinya.

"Sini lo!" perintah Vino, sudah seperti ibu-ibu yang berniat memarahi anaknya.

Delima segera berlari menghampiri keduanya begitu selesai dengan kegiatannya. Kemudian ia bergerak kecil, melambai lagi saat mendapati dua pengurus sekbid kewirausahaan melintas di koridor menuju gedung IPA.

"Deno! Jiya!" sapa Delima sembari melemparkan tatapan berbinar.

Keduanya langsung menoleh, lalu balas menyapa Delima dengan ramah. Tidak ketinggalan Vino yang tersenyum malas, mau tidak mau juga ikut melambai ringan bersama Fidelya di sebelahnya.

Kemudian Jiya dan Deno melanjutkan langkah dengan terburu-buru, begitu pula dengan perbincangan mereka yang sempat terputus tadi.

"Kenapa, beb? Kangen? Delima memang ngangenin sih," ucap Delima mesem-mesem sendiri sesampainya di sana.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang