27 || A Reason

71 19 0
                                    

Part 27 - A Reason

***

Seperti biasa di malam hari, Bunda, Vino, dan Reanna akan duduk di ruang keluarga sambil bercerita singkat mengenai keseharian. Ditambah kehadiran Ayah yang sibuk menekan remote TV untuk memindahkan saluran khusus berita.

Hari ini akhirnya tulang punggung keluarga juga ikut bergabung, lesehan di depan sofa panjang bersama anak-istrinya setelah berhari-hari tidak sempat di rumah karena urusan pekerjaan di luar kota.

"Jadi gimana sekolah kamu, Vino?" tanya Ayah seraya menyomot sepotong brownies yang ia bawa ketika pulang tadi dari dalam kotak dan membuat Reanna yang memangkunya menoleh dengan wajah tidak terima. "Ada kesulitan gak selama jadi bendahara OSIS?"

"Biasa aja. Sibuknya pas ke nagih iuran OSIS aja, kadang ada aja yang bebal trus ngehindarin Vino karena gak mau bayar." Vino menghela napas, lalu menarik paksa kotak brownies dari kekuasaan Reanna. Kemudian memasukkan sepotong brownies berwarna hijau pandan itu ke mulutnya dengan ganas.

"Suka heran, alasan mereka masuk OSIS tuh buat apa sih? Proker juga gak bakalan berjalan kalo keuangan OSIS gak nambah. Yah, tau sendirilah dana sekolah buat kegiatan OSIS pada ke mana," kata Vino malas yang direspon anggukan mengerti oleh Ayahnya.

Reanna mendengkus, lantas menggigit potong brownies di tangannya dan berkata, "Di sekolah lo ada yang nakal kayak gitu juga, Vin? Kirain pejabat doang yang korup, eh ternyata kepsek--"

"Ssstt." Ayah meletakkan telunjuk ke bibir Reanna untuk membungkamnya segera. "Jangan ngomong gitu, nanti ada yang dengar bisa berabe."

Reanna menepis tangan Ayah. "Idih, gitu aja takut. Ayah, penakut," cibirnya. "Ini kan bukan zaman orde baru lagi."

Lantas Reanna kembali fokus menghabiskan brownies rasa pandan kesukaannya, sementara Vino menoleh pada Bunda yang sedari tadi hanya diam memerhatikan berita di TV. Bertepatan ketika Ayah meletakkan remote di atas sofa dan meneguk air yang memang sudah tersedia di depannya.

"Bunda," panggil Vino sambil bergerak mendekat. Dari yang awalnya di samping Reanna, kini duduk memisahkan Ayah dan Bunda.

"Bunda sudah ganti tempat langganan kue." Bunda yang tadinya berencana membuka kotak brownies rasa cokelat di depannya jadi melirik, seolah tau apa yang akan dikatakan anak bungsunya itu. "Mau minta apa lagi?"

Vino merapatkan bibir sesaat. "Vino juga udah fiks buat stop pdkt ke Reha."

Reanna dan Ayah yang mendengar itu pun saling tatap. Cukup paham dengan maksud si anak bontot. Pembicaraan seperti ini bahkan sudah berkali-kali mereka dengar. Namun, keduanya memilih bungkam dan mendengarkan dulu.

"Akhirnya?" ucap Bunda seakan mengejek si bungsu.

Vino menggertakkan gigi ingin marah, namun memilih menghela napas panjang kemudian menunduk. Dia pun menipiskan pandangan. Sedikit demi sedikit Vino mencubit brownies yang masih ada di tangan dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Dia lagi sakit, Bunda. Katanya kak Anisa ke luar kota juga. Kalau tau Reha sampai masuk RS karena shock, Bunda mungkin dapat masalah. Saat itu terjadi, Vino akan merasa sangat bersalah ke kalian. Jadi Vino mohon ... paket yang kemarin-kemarin itu, jangan dikirim lagi. Kedepannya juga." Kini matanya terlihat penuh harap pada Bunda.

"Kalo kamu mau liat Bunda stop lakuin itu, berhenti cari gebetan terus. Cukup berteman biasa sama lawan jenis. Bunda sudah tegaskan berkali-kali, tapi kamu gak mau dengar."

Tangan Vino mengepal, walau hanya berselang beberapa detik karena mendengar penuturan Bunda.

"Karena Bunda gak mau kejadian waktu kamu tinggal sama nenek terulang lagi, Vino." Setelah mengatakan itu, Bunda berdiri dan berjalan pergi tanpa berbalik.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang