10 || Kamar B18

150 50 32
                                    

Sesaat, orang-orang yang berdiri di lobi rumah sakit mengalihkan atensi pada cowok tinggi yang baru saja masuk. Vino, pemuda itu berlari bak dikejar zombi. Tidak peduli lagi dengan rambutnya yang tergerai berantakan usai melepas helmnya di parkiran Rumah Sakit Pertiwi.

"Kak, ada pasien bernama Ireha Zafira yang baru masuk?" tanya Vino begitu tiba di bagian informasi. Guratnya jelas menunjukkan kegelisahan. Dalam hati, Vino sangat berharap bahwa gadis yang ia sukai itu tidak ada di sini dan sehat-sehat saja.

Namun, sepertinya doa Vino tidak sampai pada Yang Maha Kuasa. Karena, wanita dengan seragam khas pegawai rumah sakit yang sudah membuka buku untuk mengecek daftar pasien jelas-jelas mengatakan, "Oh, ada. Pasien atas nama Ireha Zafira sudah dipindahkan ke kamar B18 di lantai dua."

Mengepalkan kedua tangan, Vino meruntuk dalam hati tidak bisa menerimanya. Bahkan tanpa kata ia segera menghampiri lift yang berada di lobi dengan rasa khawatir yang semakin memuncak.

Lagi-lagi, Vino seperti dikejar oleh sesuatu. Mengabaikan para orang dewasa yang penuh sesak di dalam lift, Vino menekan tombol menuju lantai dua berkali-kali. Kakinya terasa lemas dan dadanya sesak memikirkan keadaan Reha di sana.

Reha baik-baik aja. Dia pasti baik-baik aja.

Vino terus menanamkan kalimat itu di benaknya seiring bergeraknya lift menuju lantai atas. Takut, tentu saja. Gadis yang ia sukai masuk rumah sakit, Vino tidak mungkin bersikap biasa-biasa saja.

Tidak butuh waktu lama, lift berhenti di lantai dua. Pemuda itu berlari dan terus berlari sembari mengedarkan pandangannya pada nomor-nomor kamar yang tertera di lantai tersebut. Sampai akhirnya langkah Vino terhenti. Dia menemukan kamar B18.

Pintu kamar tiba-tiba digeser. Pemuda itu tersentak, lantas termundur beberapa langkah saat seorang suster keluar dari ruangan tersebut sambil membawa nampan stainless berisi beberapa jarum suntik yang sudah terpakai. Botol antibiotiknya juga telah kosong. Vino membiarkannya pergi.

"Cari siapa, Dek?" tanya seorang pria dengan tahi lalat manis tepat di bawah matanya. Arvi, pria tinggi dengan kemeja hitam itu ikut keluar bersama suster tadi.

Alis Vino terangkat. Kalau tidak salah ingat, pria ini adalah pria yang ia lihat di kafe Orion bersama kak Anisa sore tadi. Kini Vino paham dengan kepanikan kak Anisa waktu itu. Dia merasakannya juga dan tanpa sadar sudah melamun.

Arvi mengerutkan alis. Pemuda yang hampir sepantaran dengannya ini tidak menjawab pertanyaannya sedari tadi. "Hei, jangan melamun. Nanti kesambet suster ngesot," celetuk Arvi sambil menjentikkan jari di depan wajah Vino dan membuatnya tersadar.

"Ah, maaf, Kak." Vino menggaruk tengkuknya tidak gatal. "Saya Vino, kakak kelasnya Reha di SMA Garuda," ucapnya tersenyum kikuk, lalu sedikit melirik ke jendela kaca yang menempel pada pintu kamar B18.

Di sana, Vino bisa melihat gadis yang berhasil memenuhi isi kepalanya beberapa hari ini. Gadis yang dengan gampangnya membuat Vino tertohok kalau sedang menggombalnya. Bahkan terkadang, sikap dan kalimat sarkastiknya membuat Vino seakan rela menjadi masokis tanpa batas untuknya.

Dan sekarang, gadis itu terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, lengkap dengan alat bantu pernapasan dan selang infus di punggung tangannya. Vino benar-benar tidak tega melihatnya. Menipiskan pandangan, akhirnya pemuda itu menjauhkan diri dari pintu B18 dan kembali menatap pria yang masih berdiri di dekatnya tersebut.

"Sebenarnya Reha sakit ap--"

Kalimat Vino terpotong begitu pintu B18 kembali digeser. Membuat kedua laki-laki itu beralih, menatap kak Anisa yang baru saja keluar dari ruangan.

Sontak saja Vino membelalak. Kak Anisa tampak kacau sekali. Mata sembabnya masih saja basah. Sesekali wanita itu menyeka kedua ujung matanya dengan tisu.

"Vi, aku--loh, Vino?" sebut Kak Anisa sedikit terkejut melihat kehadiran Vino di tengah-tengah dirinya dan Arvi. Kemudian ia celangak-celinguk seolah mencari sesuatu. "Siapa yang sakit? Bu Astuti sehat kan, Vino?" tanyanya terlihat cemas.

Vino menipiskan bibir mendengarnya. Kagum pada sosok wanita yang berdiri tegar di depannya ini. Padahal kak Anisa sudah gelisah karena Reha yang sakit, tapi masih bisa mengkhawatirkan orang lain.

"Bunda sehat-sehat aja kok, Kak."

"Syukurlah," ucap Kak Anisa terlihat lega. Walau berikutnya ia jadi menatap Vino bingung. "Trus ngapain di sini?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Arvi yang berdiri di sebelahnya jadi menggeleng-geleng. Sempat ragu pada diri sendiri karena malah memantapkan hati pada wanita yang tidak peka seperti Anisa Zafira. Jelas-jelas pemuda bernama Vino ini datang karena Reha. Dilihat sekilas pun, Arvi sudah tau kalau pemuda tinggi itu menyukai calon adik iparnya.

Namun meskipun begitu, wanita berambut sebahu yang telah ia kenal selama bertahun-tahun ini adalah orang yang selalu membuat Arvi bahagia dan nyaman. Arvi tersenyum tipis. Sepertinya ia harus turun tangan.

"Nis, belum makan kan?"

"Ah, iya, belum."

Arvi langsung menggenggam tangan kak Anisa, membuat wanita itu menoleh heran padanya. Begitu pula Vino yang melihatnya.

"Tangan--"

"Ayo ke bawah dulu, makan," potong Arvi, balas menatap kak Anisa dengan senyum tulusnya. "Sekalian bawain makanan buat Reha." Arvi menarik kak Anisa pergi sebelum wanita itu menolaknya.

"Loh, aku gak mau makan, Vi. Reha sendirian, gak ada yang jagain," kata kak Anisa panik. Dia ingin melepas genggaman Arvi, namun tidak bisa. Pria itu malah pura-pura tuli dan terus berjalan.

Kak Anisa mendecak, lantas menoleh ke belakang. Opsi terakhirnya adalah Vino. Untungnya pemuda itu masih terpaku di depan kamar B18 sambil menatap dirinya dan Arvi penuh tanya.

Sebenarnya kak Anisa masih penasaran dengan kedatangan Vino ke rumah sakit. Jika bukan bu Astuti lalu siapa yang sedang sakit? Namun nanti saja ia memikirkan hal itu. Prioritas utama adalah Reha. Adiknya itu tidak boleh sendirian. Oleh karena itu, kak Anisa memasang wajah memelas pada Vino.

"Vin, tolong jaga Reha sebentar ya. Enggak lama kok. Sepuluh menit ya?" pinta kak Anisa akhirnya, membuat Arvi diam-diam mengangkat jempolnya pada Vino dan segera menyeret kak Anisa menuju lift.



To be continued ....

****

See you in the next chapter guys!!!

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang