5 || Hae Bae

208 81 29
                                    

Reha mendecak kesal sambil mengalihkan tatapannya pada satu anak cewek yang berdiri di depan mejanya ini.

"Gue bilang, gue gak mau ikut organisasi apa pun," tegas Reha yang diakhiri dengkusan sebal, lantas ia menarik sebuah novel di atas mejanya dan kembali membacanya.

"Kalau gitu lo ikut ekskul aja," balas satu cewek dengan cepolan dua di kepalanya itu. Sedikit memaksa karena dirinya selalu didesak oleh wali kelas mereka, Pak Todo Simanjuntak.

Padahal cewek bernama lengkap Ankara Pratiwi atau biasa disapa Tiwi ini bukan siapa-siapa selain seksi kebersihan di kelasnya, tapi guru sejarahnya itu suka sekali membuatnya kerepotan.

"Gak," tolak Reha dengan wajah datar. Kemudian berdiri dari tempatnya. "Minggir," perintahnya dengan raut dingin.

Bukannya menyingkir, si cepol dua itu malah menggelengkan kepala sambil merentangkan tangan.

"Reha, ini wajib banget lo ikutin." Tiwi masih kekeuh.

Reha mendecak sebal. "Kalau gue bilang enggak, ya enggak."

"Re, ini buat isi nilai keaktifan berorganisasi di raport. Kalau gak ada, bisa-bisa lo gak dinaikin kelas ih," jelas Tiwi yang sudah merasa dongkol akibat keras kepalanya seorang Ireha Zafira.

Kalau dihitung-hitung, bukan cuma sekali Reha membuat orang yang ada di sekitarnya jengkel seperti ini. Bahkan saat awal pengenalan lingkungan sekolah beberapa bulan yang lalu, gadis berambut panjang itu bersikap seperti ingin memusuhi semua orang di sekolah. Tidak terkecuali guru dan keluarganya sendiri.

"Gue gak peduli," tukas Reha, lalu menepis tangan kiri Tiwi yang terlentang dan melewatinya begitu saja.

"Re, ini bukan cuma tentang lo!"

Mendengar penuturan Tiwi, sontak Reha menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Maksud lo?"

"Ibu Sartika ngasih ancaman ke setiap kelas. Nilai ekonomi kita satu kelas bakal di bawah rata-rata kalau ada yang gak ikut kegiatan apa pun," jawab Tiwi jujur, mengingat sebelum ini, Pak Todo sempat memberitahukan hal ini padanya.

"Anjir, gila." Cewek bermata sipit yang duduk di pojokan kelas jadi mengumpat, ikut angkat bicara. Tadinya ia asik mengetik di ponselnya, tapi langsung teralihkan saat mendengar sesuatu yang tidak bisa diterima oleh logikanya.

"Guru di jurusan IPS punya masalah hidup apa sih sebenarnya? Kok pada aneh-aneh ya bawaannya? Masa pungli nilai. Yang bener ajalah, ekonomi sama kegiatan organisasi apa hubungannya coba? Gak sekalian nilai PKN disangkut pautin sama kebersihan?"

Gadis bernama lengkap Cemara Kaira Ruby itu tampak berceloteh tidak karuan dari tempat duduknya, membuat Tiwi yang melihatnya jadi tertawa. Sementara Reha di sana hanya terdiam sembari memikirkan kalimat yang dilontarkan Tiwi sedari tadi.

Memang benar kalau Reha tidak peduli dengan nilainya atau perihal dirinya yang akan terancam tidak naik kelas. Tapi kenapa teman-temannya harus ikut terkena imbasnya? Iya, Reha memang beban, tapi ia tidak ingin kalau perbuatannya itu membuat orang-orang di sekitarnya jadi rugi seperti ini.

"Jadi gimana, Re?" tanya Tiwi terdengar penuh harap. "Lo ikutan organisasi ya? Apa kek gitu," lanjutnya sambil memohon-mohon.

Reha menghela napas panjang, lalu menatap Tiwi. "Yaudah, gue mau."

"Eh, beneran?!" tanya Tiwi dengan raut berubah senang.

"Iya, tapi gue gak tau harus ikut apaan," kata Reha, masih terdengar acuh. Sudah jelas ia ikut organisasi karena terpaksa.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang