7 || Bramantio Family

224 64 22
                                    



"Bunda, mau beli kue gak?" tanya Vino sambil melompat ke atas sofa. Mengambil posisi duduk tepat di sebelah seorang wanita yang tampak asik menonton serial India kesukaannya. Kulfi.

"Nda," sahut bunda. Matanya tidak terlepas dari layar TV. Membuat kedua sudut bibir Vino sukses mengendur ke bawah.

"Yah, alli ni waseng," ucap Vino terdengar kecewa.

Logat khas provinsi Sulawesi Selatannya pun membuat sang bunda menahan senyum kini. Cukup senang karena sudah bertahun-tahun meninggalkan kampung halaman, anak bungsunya ini masih belum juga melupakan bahasa daerah mereka.

Sewaktu kecil, Vino memang sempat dibesarkan oleh nenek yang tinggal di daerah pelosok Sulawesi Selatan. Meski hanya sampai SMP kelas satu, tapi nyatanya Vino punya banyak teman yang berasal dari berbagai suku yang berbeda saat itu.

Jadi tidak heran kalau pemuda ini terkadang mencampur-campur antara bahasa Bugis dan Luwu. Bahkan dialek pun terkadang tidak terkontrol. Vino tidak terlalu terpaku pada struktur dan kosakata yang sesuai. Katanya asal gue bisa ngomong dan paham ya, kenapa lo yang sewot?

"Si Naga kan hobby ngemil tiap hari, Bund!" lanjut Vino masih bersungut-sungut, lantas segera menangkap kue kering yang melesat ke arahnya dan terkekeh pelan.

"Yang lo sebut Naga itu Kakak lo sendiri, biadab!" sergah satu wanita yang masih mengenakan pakaian dinasnya di depan meja ruang tengah. Tadinya ia asik mengemil sambil scroll IG. Hampir tersendak dan melemparkan potongan terakhir kue keringnya pada Vino dengan wajah kesal.

"Ora urus."

Tidak peduli dengan kekesalan kakaknya, Vino melempar masuk kue tadi ke dalam mulut. Kemudian kembali melancarkan aksinya untuk membujuk sumber uangnya. Astuti.

Iya, namanya cuma itu. Kadang Vino suka kasian sama bundanya ini. Seperti ada diskriminasi dalam keluarga. Cuma bunda yang tidak punya label Bramantio di belakang namanya.

"Ayolah, Bund." Vino menyengir setan saat wanita yang membesarkannya itu meliriknya sinis. "Nyetok, ya, ya, ya."

"Ck, kok maksa? Yang boleh maksa-maksa di sini tuh cuma Bunda ya, Vino." Wanita yang senang memakai daster bermotif batik itu mencetus, tidak ingin dibantah.

Lagian anak bungsunya ini aneh-aneh saja. Masa setiap hari mau beli kue. Bahkan kemarin saja, baru pulang sekolah sudah terdampar di toko kue langganan si bunda. ZafiraCake yang ada di jalan poros anggrek itu.

Kalau harganya murah sih, bunda tidak apa-apa. Lah ini rata-rata di atas uang berwarna biru semua. Belum lagi ada bu RT yang selalu nagih uang arisan ke bunda. Memikirkannya saja sudah membuat wanita beranak tiga ini pusing bukan kepalang.

"Makanya ...." Vino berdeham asal, "beli kue di ZafiraCake. Cita rasanya luar biasa memuncah," lanjutnya terlihat lebay.

Sadar tidak sadar, sepertinya Vino sudah beralih profesi menjadi tukang promosi. Tanpa digaji, ia secara sukarela memaksa bundanya sendiri untuk mengeluarkan uang demi bisa bertemu sang pujaan hati.

"Mending Bunda tutup telinga deh. Biasalah Vino, pasti ada udang di balik tai tuh." Wanita berpakaian dinas mengimbuh lagi, menatap Vino tepat, "Lo dapat gebetan baru kan di sana."

Vino mencebik saja mendengarnya. Reanna Bramantio, kakak keduanya itu kalau bicara suka tepat sasaran. Vino kan jadi tidak bisa beralasan. Apalagi kalau mau bohong. Gelagat anehnya pasti langsung ketahuan oleh bunda. Jadi Vino lebih memilih jujur.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang