15 || Like or Lie

126 48 61
                                    

Sembari menyelipkan ponsel di saku almamater merahnya, Reha menutup pintu rumah. Merapikan rambutnya sesaat, lalu mulai berjalan menuruni tangga beton yang bersebelahan tepat dengan toko kue milik kak Anisa.

Tiba di ujung sekat, gadis berambut panjang itu berbelok dan berhenti tepat di depan toko kue yang sudah terbuka sejak pukul enam dini hari. Tidak seperti emperan yang berdekatan dengan bangunan berwarna kuning langsat ini, pemilik ZafiraCake memang tergolong orang yang ambis dalam mencari uang.

Reha selalu ingat motto hidup kak Anisa yang sangat mencerminkan seorang pebisnis, mengatakan bahwa 'waktu adalah uang' atau time is money. Apalagi ajaran ini sudah diturunkan dari sang ayah, Daud Al-Zafir. Jadi tidak heran kalau sebagian besar hidup kak Anisa bertumpu pada toko yang sudah dirintis sejak zaman muda ayah dan ibunya.

Sedikit menarik napas, Reha mendorong pintu berbahan kaca tembus pandang di depannya. Kemudian melenggang masuk dan mendekati sebuah ruangan tertutup yang berada di dekat meja kasir. Itu adalah dapur khusus tempat kak Anisa biasanya bereksperimen.

"Teh Anis," panggil Reha begitu membuka pintu. Dia menghampiri kak Anisa yang sedang sibuk memindahkan adonan kue dari oven ke meja dapur. Di sana sudah tersedia beberapa cream dengan warna yang berbeda.

Kak Anisa menoleh ke belakang saat mendengar suara Reha, lantas tersentak kecil. "Eh, kamu udah mau masuk sekolah?" tanyanya yang terlihat buru-buru melepas sarung tangan oven berwarna merah maronnya. Kemudian mendatangi Reha dengan alis mengerut khawatir.

"Iya," jawab Reha sambil mengangguk. "Lagian Reha juga udah agak baikan."

Kak Anisa menghela napas berat. Meski Reha mengatakan demikian, ia tetap saja masih was-was dengan kesehatannya. Belum lagi dengan kejadian beberapa hari yang lalu dan sempat membuat dirinya marah besar karena tindakan nekat adik angkatnya ini.

"Tapi tetap aja, harusnya kamu jangan ke sekolah dulu. Minimal istirahat sehari atau dua hari, Dek," protes kak Anisa sembari meletakkan telapak tangannya di dahi Reha untuk mengecek suhu tubuhnya.

Jujur, kak Anisa belum ingin memulangkan Reha secepatnya dari rumah sakit meski dokter sudah mengijinkan. Tapi gadis itu justru memaksa untuk minta dipulangkan segera. Tahu bahwa Reha keras kepala, akhirnya kak Anisa terpaksa mengalah.

"Enggak mau." Tali tas punggungnya yang menjuntai, ia tarik hingga tasnya terlihat semakin memendek ke atas seraya mendengkus. "Bosen, mau cari suasana baru di sekolah," sambungnya dan membuat kak Anisa menghela napas lebih berat dari sebelumnya.

"Yaudah. Obatnya?"

Tau kak Anisa menyinggung tentang obat yang diresepkan dokter padanya, Reha mendengkus. "Ck, ada."

Kak Anisa menipiskan pandangan. Adiknya ini kembali cuek seperti sebelumnya. "Kalau gitu, Teteh pesenin ojek-- "

"Gak perlu," potong Reha yang melihat kak Anisa meraih ponselnya untuk memesan ojek online. "Mau naik bus aja."

"Eh, kok tiba-tiba?" Mengerutkan alis, kak Anisa merasa sedikit heran. Pasalnya, baru kali ini Reha berniat naik bus ke sekolah. Padahal kan halte di depan sekolahnya sudah dibangun sejak dua bulan lalu.

"Pengen aja," jawab Reha seadanya.

Kak Anisa menggeleng-geleng. "Yasudah. Kamu tau di mana halte bus di daerah sini? Ayo, Teteh antar," ujar kak Anisa lagi. Sebisa mungkin ia memerhatikan adik angkatnya ini.

"Gak usah. Reha bisa sendiri, kayak anak kecil aja pake diantar," gerutu Reha yang segera berbalik dan pergi, meninggalkan kak Anisa yang tertawa kecil memaklumi.

Bitter As a Medicine [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang